Kamis, Juni 19, 2008

Muslim Menderita di Bawah Jajahan Cina

Di saat kerusuhan anti pemerintahan Cina meningkat di dalam perbatasan Tibet, Pemerintah Cina memberlakukan tindakan represif agar kerusuhan tidak meluas ke perbatasan di Turkestan Timur (Xinjiang). Rebiya Kadeer, presiden Konggres Uyghur Dunia yang berpusat di Jerman, menggambarkan kepada koran Toronto Star beberapa tindakan represif : “Ketika ada 3 sampai 4 pemuda Uyghur (etnik muslim) berkumpul bersama di jalanan, tiba-tiba melesat suatu mobil jenis van dan berlompatan beberapa polisi berpakaian preman yang segera menculik atau sekedar membubarkan pemuda tersebut. Saya juga mendapat laporan bahwa polisi berpakaian preman juga menyusup kedalam sekolah-sekolah di Uyghur… untuk memastikan tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan.”
Ketika dunia bersimpati kepada nasib Tibet, sedikit sekali yang peduli terhadap apa yang terjadi pada kaum muslimin di Turkestan Timur. James Milward, seorang professor sejarah dan ahli tentang Turkestan Timur yang mengajar di Georgetown University menjelaskan ketidakseimbangan perhatian ini dengan peribahasa Cina. Dia berkata, “Rakyat Tibet diibaratkan sebagai Panda. Sedangkan Uyghur seperti Unta. Panda sangatlah lucu, sehingga semua simpati tercurah bagi ke-Budha-an Tibet dan tidak ada rasa takut padanya. Di sisi lain, Unta adalah hewan yang kasar, suatu makhluk hidup yang engkau tidak ingin bermanja dengannya. Namun, baik panda dan unta adalah makhluk yang perlu dilestarikan.”
Dari masa kekuasaan Islam menuju penjajahan Cina [10]
Islam hadir di wilayah ini di tahun 934 dan kota Kashgar menjadi salah satu kota pusat peradaban Islam. Berabad kemudian, Turkestan Timur jatuh dibawah kekuasaan Kaisar Manchu dari Cina. Selama tahun 1860an, pemberontakan warga muslim dari seluruh penjuru wilayah Cina bagian Barat meletus dan meluas. Di tahun 1865 Turkestan Timur memisahkan diri dari genggaman Cina dan menjadi negeri merdeka. Namun di tahun 1884, Cina kembali menguasai Turkestan Timur dan menamainya kembali ‘Xinjiang.’
Rakyat Uyghurs terus melakukan aksi pemberontakan melawan pemerintah Cina dan dua kali, di tahun 1933 dan 1944 mereka berhasil membentuk republik independen. Pemerintah Cina berhasil meyakinkan penduduk muslim untuk meninggalkan republik sebagai pengganti hak otonomi yang sesungguhnya. Lalu Liga Muslim yang menolak pemerintahan Cina dibentuk. Di tahun 1949, beberapa pemimpin Liga Muslim meninggal dalam kecelakaan misterius yang menimpa pesawat terbang yang mereka tumpangi dalam perjalanan menemui pemimpin negara Cina Ketua Mao. Perlawanan penduduk muslim terus berlanjut hingga awal 1951 ketika pemimpin pemberontak tertangkap dan dieksekusi. Hingga detik ini, Cina masih menolak untuk melepaskan kontrol dari daerah yang sangat kaya ini dan tetap menjalankan kebijakan brutal untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pembersihan Suku
Setelah peristiwa 9/11, Cina dan negara-negara lainnya menggunakan momen perang terhadap terror sebagai alasan untuk mendapat dukungan internasional dalam menindas populasi muslim di wilayah masing-masing. Penindasan tersebut sebenarnya sudah berlangsung sebelum 9/11, namun tingkat kebrutalitasannya semakin menjadi-jadi dan ‘perang melawan terorisme global’ menjadi alasan pamungkas.
Turkestan Timur kini dimasuki imigran Suku Han yang kini mendominasi segala aspek bisnis, pendidikan, dan pekerjaan. Meskipun wilayah ini mengalami peningkatan ekonomi, terutama produksi minyak, suku Han lah yang paling diuntungkan. Ini menyebabkan persaingan antara suku Han dan suku minoritas Uyghur (yang notabene muslim) dalam memperebutkan air dan sumber daya alam di perdaerahan dan pekerjaan di pusat perkotaan.
Pemantau Hak Asasi Manusia (Human Rights Watch) melaporkan : “Diskriminasi halus yang terstruktur terhadap suku Uyghur dan kelompok muslim lainnya…. Anak-anak warga minoritas boleh pergi ke dan menimba ilmu di sekolah suku mereka, tetapi bahasa instruksi pendidikan diberikan dalam bahasa Cina (padahal bahasa ibu warga muslim adalah bahasa Turkic)….’Keunikan faktor agama, makanan, dan bahasa warga muslim dijadikan alasan untuk menyulitkan akses terhadap posisi strategis karena dianggap tidak siap untuk menjalankan tugas-tugas yang penting.”
Amnesty International melaporkan bahwa di sektor pertanian, petani Uyghur bertambah miskin karena kebijakan pemerintah, naiknya pajak, dan praktek-praktek yang diskriminatif serta korup. Di beberapa daerah, para petani Uyghur terpaksa untuk menjual hasil panen mereka melalui instansi pemerintah yang membelinya dengan harga yang terlampau murah, ketimbang di pasar seperti yang dilakukan oleh petani Han yang dibolehkan untuk berdagang tanpa kesulitan yang berarti dari pemerintah.
Ini semua menyebabkan kebencian yang meluas di kalangan rakyat Uyghur, mengungsi ke tempat lain karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup di tempat asalnya, dan dorongan untuk meninggalkan identitas keislamannya demi keberlangsungan hidup di bidang ekonomi.
Banyak sekali kebijakan yang diterapkan guna memastikan jika muslim tidak dengan sukarela meninggalkan keyakinannya, maka pemerintah Cina akan memastikannya agar itu terjadi. Laporan dari Pemantau HAM (HRW) menyebutkan, “Pemerintah telah melarang praktik ritual yang dilakukan individu di seluruh infrastruktur milik negara: pelajar di sekolah dan universitas negeri secara resmi dilarang untuk beribadah, berpuasa selama Ramadan, atau menunjukkan perilaku saleh, bahkan memiliki al Quran bisa diganjar hukuman. Di daerah pedesaan, pihak keamanan secara berkala melakukan penyisiran terhadap ‘publikasi ilegal’ atau ‘literatur keagamaan illegal.’ Jamaah Masjid diawasi dan para pemuda Uyghur pun takut pergi ke Masjid… Patroli malam dilakukan dengan mentargetkan asrama mahasiswa untuk memastikan tidak adanya manifestasi ritual keagamaan.”
Anak-anak dibawah 18 tahun dilarang untuk mempelajari dan mempraktikkan Islam. Di bulan Agustus 2006, polisi menggrebek rumah Aminan Momixi, ketika wanita ini sedang mengajarkan al Quran kepada 37 muridnya- wanita tersebut dan para muridnya pun ditahan bahkan anak seusia 7 tahun. Anak-anak tidak dilepaskan hingga orang tuanya membayar denda yang tinggi sekali sekitar 7000-10000 Yuan [14] – rata-rata gaji per tahun warga Uyghur adalah 2400 Yuan.
Itu semua hanya sebagian kecil dari berbagai peraturan yang diterapkan pemerintah Cina terhadap saudara-saudara kita di Turkestan Timur; dan itu tidak berhenti disini. Karena takut kehilangan Turkestan Timur, pemerintah Cina tidak segan untuk menahan dan menyiksa siapapun yang diduga menjadi ancaman bagi Cina.
Di penghujung tahun 2005, Manfred Nowak, narasumber PBB tentang kasus Penyiksan, membenarkan bahwa “penyiksaan adalah praktik yang meluas” di Cina, terutama di Turkestan Timur dan Tibet. Ragam penyiksaan yang dicatat Nowak diantaranya adalah “penggunaan aliran listrik, rokok, pemukulan oleh sesama napi dengan perintah opsir penjara, penenggalaman dengan air atau air got, paparan terhadap suhu yang sangat dingin atau sangat panas, pemaksaan untuk bertahan di posisi yang tidak nyaman, pengurangan jam tidur, restriksi makan dan minum, penggantungan dari langit-langit dengan menggunakan borgol.”
Penyiksaan, penangkapan acak, pengadilan kilat, dan eksekusi adalah hal yang lumrah di propinsi yang terlupakan ini. Ini adalah satu-satunya daerah di Cina dimana tawanan politik masih dieksekusi . Amnesty International mendokumentasikan bahwa sejak 2001 “puluhan ribu penduduk telah ditahan, dan sekitar ratusan atau mungkin ribuan telah dituntut dan dihukum dengan Undang-Undang Kriminal; banyak penduduk Uyghur telah dihukum mati dengan tuduhan separatisme atau terorisme” .
Umat Islam di Turkestan Timur Menghadapi penyiksaan yang luar biasa. Pemaksaan aborsi dan kastrasi ; Wanita muda Uyghur dipaksa bekerja di Pabrik-pabrik milik Cina ; Pengintaian dan penutupan Masjid ; Menghalangai penunaian ibadah haji. Kantor berita negara Xinjiang Daily melaporkan bahwa di tahun 2005 18.227 penduduk di Turkestan Timur ditahan karena mengancam keamanan negara. Angka ini naik 25% dari angka tahun lalu. (Rusydan; sumber Khilafah.com; Sabtu, 12 April 2008)
BOX :
Turkestan Timur : Negeri Islam yang Kaya
Saat ini, Turkestan Raya terbentang dari Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan dan Turkemenistan yang juga dikenal sebagai Turkestan Barat. Sedangkan Turkestan Timur, yang membentuk se-perenam dari wilayah Cina adalah wilayah pendudukan atau penjajahan Cina selama 2 abad. Di abad ke 19, wilayah Turkestan Timur diberi nama Cina yaitu Xinjiang atau “Tapal Batas Baru” atau “Daerah Kekuasaan Baru.”
Rakyat asli Turkestan Timur adalah rakyat Turkic yang mayoritasnya beragama Islam. Menurut laporan Amnesti Internasional, terjadi suatu imigrasi besar-besaran suku Han (suku terbesar yang mendominasi populasi Cina) yang memasuki Xinjiang atau Turkestan Timur yang mengakibatkan berkurangnya proporsi rakyat asli disana. Lebih jauh lagi, Al Jazeera juga melaporkan bahwa immigran yang bersuku Han di Turkestan Timur melonjak dari dibawah setengah juta penduduk di tahun 1953 hingga mencapai 7,5 juta penduduk di tahun 2000, dan masih terus bertambah. Dari data yang ada, penduduk imigran Han membentuk 42% dari Turkestan Timur dengan jumlah total populasi sejumlah 18 juta penduduk.
Menurut www.china.org.cn , di tahun tahun 2004, 41,2% wilayah Turkestan Timur dianggap cocok sebagai pengembangan pertanian, kehutanan, dan peternakan. Dari sekitar 122 mineral yang ditemukan di Turkestan Timur, beberapa diantaranya ditemukan dalam jumlah yang sangat besar seperti tambang besi dan garam. Cadangan batubara di Turkestan Timur sendiri sekitar 38% dari seluruh cadangan di Cina. Cadangan Minyak dan Gas diperkirakan sekitar 30 milyar ton yang membuat lebih dari 25% minyak dan gas nasional. Koran People’s Daily melaporkan di bulan Februari 2008, “Produksi minyak mentah dan gas alam oleh Tahe Oil telah meningkat. Kenaikan produksi ini terkontribusi dari 40% total produksi dari Xinjiang. Di tahun 2007, ladang minyak Tahe Oil diharapkan akan memproduksi antara 300 sampai 500 juta ton minyak. Di akhir tahun lalu, telah terkonfirmasi sekitar 2,47 milyar ton cadangan minyak dan gas alam.”

Tidak ada komentar: