Sabtu, Agustus 30, 2008

Pemikiran Kapitalis Berbahaya: Dialog Antar-Agama

Berdakwah kepada orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam adalah tugas yang telah diwajibkan oleh Allah Swt. atas kaum Muslim. Tugas ini telah mereka laksanakan selama 14 abad. Tidak henti-hentinya mereka mengajak orang-orang non-Islam, baik golongan Ahlul Kitab maupun golongan lainnya, untuk masuk Islam. Allah Swt. berfirman:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ‌ۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ‌ۚ

Serulah (manusia) ke arah jalan Tuhanmu dengan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).
Dalam suratnya yang ditujukan kepada Heraklius, Raja Romawi, Rasulullah saw., antara lain, pernah bersabda demikian:
فَإِنِّي أَدْعُوْكَ بِدِعَايَةِ اْلإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ اْلأَرِيْسِيَّيْنَ…
Sesungguhnya aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Oleh karena itu, masuk Islamlah engkau niscaya engkau akan selamat, dan Allah pun akan memberikan dua pahala kepadamu. Akan tetapi, jika engkau berpaling, niscaya engkau akan menanggung dosa para petani (rakyatmu)…. (HR al-Bukhârî).
Dengan demikian, jelaslah bahwa dakwah (ajakan) Islam kepada orang-orang non-Islam adalah dakwah (ajakan) untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran.
Sementara itu, gagasan dialog antar-agama yang ramai dijajakan saat ini adalah gagasan yang sangat keji dan sangat asing yang sengaja dimunculkan oleh pihak Barat. Gagasan semacam ini tidak ada asal-usulnya sama sekali dalam Islam karena menyerukan upaya untuk mencari “titik temu” di antara agama-agama yang ada. Bahkan, gagasan tersebut menyerukan upaya untuk membentuk semacam “agama baru” yang sengaja direkayasa. Dengan begitu, kaum Muslim diharapkan mau menganutnya sebagai ganti agama Islam. Sebab, kita mengetahui bahwa, para penggagas dialog antar-agama dan para propagandisnya adalah orang-orang Barat yang kafir.
Gagasan semacam ini mulai muncul secara internasional pada tahun 1932. Pada saat itu, Prancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokok-tokoh ulama al-Azhar, Kairo, dalam rangka membahas ide penyatuan tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi. Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya Konferensi Paris tahun 1933. Konferensi ini dihadiri oleh para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas yang ada di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Konferensi Agama-agama Sedunia tahun 1936 merupakan konferensi agama terakhir sebelum Perang Dunia II. Kegiatan semacam ini telah mendorong negara-negara Eropa untuk menyibukan diri dalam penyelenggaraan berbagai konferensi serupa.
Pada tahun 1964, Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar-agama. Selanjutnya, pada tahun 1969, Vatikan menerbitkan sebuah buku yang berjudul: Alasan Dialog Antara Kaum Muslim dan Kaum Kristiani.
Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi dialog antar-agama dan antar-peradaban. Yang paling menonjol adalah Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia. Konferensi ini dihadiri oleh 400 delegasi dari beraneka agama yang berbeda-beda. Selanjutnya adalah Konferensi Cordova di Spanyol yang dihadiri oleh delegasi-delegasi Muslim dan Kristen dari 23 negara. Kedua konferensi ini diselenggarakan tahun 1974. Setelah itu, diselenggarakan pula Pertemuan Islam-Kristen di Carthage, Tunisia, tahun 1979.
Pada dekade akhir abad ini, para propagandis dialog antar-agama giat mengadakan Konferensi Dialog Eropa-Arab tahun 1993 di Yordania. Konferensi ini kemudian disusul dengan Konferensi Khartoum untuk Dialog Antar-Agama tahun 1994. Pada tahun 1995, diadakan pula dua konferensi tentang dialog antar-agama, yakni di Stockholm dan di Amman (Yordania). Kedua konferensi lalu disusul dengan Konferensi Islam dan Eropa di Universitas Alul Bait, Yordania, tahun 1996.
Justifikasi Dialog Antar-Agama
Faktor terpenting yang diajukan oleh para peserta konferensi yang kemudian dijadikan bahan justifikasi di berbagai konferensi antar-agama adalah upaya membendung “kekufuran” dan ateisme yang mewujud dalam bentuk Negara Uni Soviet sebelum negara ini runtuh. Alasannya, komunisme dipandang sebagai ajaran ateis yang mengancam agama-agama samawi berikut prestasi-prestasi peradabannya. Faktor lain yang dijadikan bahan justifikasi adalah adanya keprihatinan terhadap umat manusia dan pembelaan terhadap “orang-orang beriman” di muka bumi. Faktor lainnya lagi yang juga dijadikan bahan justifikasi adalah perlunya upaya mencari “kebenaran” yang harus dipandang relatif (nisbi). Artinya, seseorang tidak boleh memonopoli klaim kebenaran (truth claim). Kebenaran harus tunduk pada kaidah demokrasi, yaitu “pendapat mayoritas”, karena dipandang paling dekat dengan kebenaran.
Sejumlah Rekomendasi
Sejumlah rekomendasi terpenting dari berbagai konferensi yang diselenggarakan atas nama dialog antar-agama dan antar-peradaban, termasuk di dalamnya dialog antara Islam dan Eropa, adalah sebagai berikut:
1. Perlu dicari berbagai makna dan dimensi baru untuk sejumlah istilah seperti kufur, ateis, syirik, iman, Islam, moderat, ekstrem, dan fundamentalisme sedemikian rupa. Dengan begitu, istilah-istilah tersebut itu tidak menjadi faktor pemecah-belah bagi para penganut agama-agama yang ada.
2. Perlu dicari “titik-temu” dari ketiga agama (Islam, Kristen, dan Yahudi) yang meliputi aspek keyakinan (akidah), moral (akhlak), dan budaya. Upaya ini bertujuan untuk menegaskan adanya “titik-temu positif” yang ada di antara berbagai agama dan peradaban. Alasannya, semua Ahlul Kitab pada dasarnya adalah juga orang-orang beriman yang sama-sama menyembah Allah.
3. Perlu adanya semacam piagam bersama hak-hak asasi manusia. Upaya ini ditujukan untuk memantapkan perdamaian dan pola hidup berdampingan secara damai (rekonsiliasi damai) di antara para penganut agama-agama yang ada. Caranya adalah dengan menghilangkan keyakinan akan adanya batas-batas prinsipil antar-agama dan menghapus sikap permusuhan dalam budaya berbagai bangsa dan politik berbagai negara.
4. Perlu dilakukan rekonstruksi sejarah dan kurikulum pendidikan. Sejarah dan kurikulum pendidikan harus dijauhkan dari hal-hal yang dapat membangkitkan kemarahan dan kebencian atas dasar agama. Pengajaran agama harus dianggap sebagai bagian dari kajian humaniora yang mendasar. Hal ini ditujukan untuk membentuk “kepribadian yang lebih terbuka” terhadap berbagai kebudayaan umat manusia dan mau memahami agama lain. Oleh karena itu, beberapa pembahasan tertentu dalam konteks akidah dan ibadah harus diubah.
5. Perlu adanya perhatian khusus terhadap wacana yang membahas tema-tema tertentu dan menetapkan sebuah persepsi yang sama atas tema-tema tersebut. Tema-tema tersebut adalah: “keadilan”, “perdamaian”, “wanita”, “hak asasi manusia”, “demokrasi”, “etos kerja”, “pluralisme”, “kebebasan”, “perdamaian dunia”, “rekonsiliasi damai”, “keterbukaan peradaban”, “masyarakat madani” (civil society), dan sebagainya.
Sarana dan Cara Dialog Antar-Agama
Selama ini, orang-orang kafir Barat telah berupaya menjauhkan kaum Muslim dari akidah mereka. Upaya ini mereka tempuh dengan: meminjam tangan para misionaris dan orientalis; melalui aneka literatur dan jurnal kebudayaan; serta lewat manipulasi ideologi, politik, dan media. Akan tetapi, semua upaya ini dianggap gagal. Oleh karena itu, mereka lantas memanfaatkan berbagai lembaga resmi di negara-negara mereka dan negara-negara agen-agen mereka. Mereka mulai mengadakan berbagai konferensi dan seminar, membentuk kelompok-kelompok aksi bersama, serta mendirikan sejumlah pusat studi di negeri-negeri mereka ataupun di negeri-negeri Islam. Beberapa pusat studi tersebut antara lain: Pusat Studi Islam Universitas Oxford (Inggris); Pusat Studi Timur Tengah Universitas Durham (Inggris); College of Holly Cross (Akademi Salib Suci) di Amerika; Râbithah ‘Alam Islâmî (Liga Dunia Islam) di Arab Saudi; Al-Majma‘ al-Mulk li Buhûts al-Hadhârah al-Islâmiyah (Dewan Kerajaan untuk Pengkajian Peradaban Islam); Universitas Alul Bait (Yordania); dan Dewan Gereja-Gereja Dunia.
Mereka menggunakan bermacam-macam istilah dan ungkapan yang manis-memikat dengan makna-makna yang tidak jelas (absurd) untuk menyesatkan dan mengecoh kaum Muslim. Beberapa istilah tersebut antara lain: pembaharuan, keterbukaan terhadap dunia, peradaban umat manusia, pengetahuan universal, keharusan hidup berdampingan secara damai, membuang fanatisme dan ekstremisme, dan globalisasi.
Mereka sengaja merancukan persepsi tentang sains (‘ilm) dan kebudayaan (tsaqâfah) serta persepsi tentang peradaban (hadhârah) dan kebudayaan material (madaniyah). Perancuan ini lalu dijadikan landasan untuk menyerang orang-orang yang konsisten dengan pandangan kehidupannya yang khas. Mereka yang bersikap konsisten tersebut lantas dituduh sebagai orang-orang yang menentang ilmu pengetahuan (sains) dan kebudayaan serta dicap sebagai golongan yang terbelakang dan tertinggal. Padahal, masalahnya, menurut Islam, tidaklah seperti yang mereka dakwakan.
Islam, sebagaimana kita ketahui, telah membuka diri terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan berbagai produk kebudayaan material (madaniyah) yang dihasilkannya. Akan tetapi, Islam memang menutup diri terhadap kebudayaan dan peradaban (hadhârah) apa pun yang berbeda dengan kebudayaan dan peradaban Islam. Alasannya, kebudayaan dan peradaban (hadhârah) pada dasarnya merupakan kumpulan pemikiran yang berhubungan dengan perilaku manusia yang wajib ditata hanya dengan persepsi Islam tentang kehidupan.
Tidak hanya itu, orang-orang Barat kafir senantiasa membagus-baguskan berbagai pemikiran yang bersumber dari ideologi Kapitalisme di hadapan kaum Muslim serta mempromosikannya sebagai sesuatu yang tidak menyalahi ajaran Islam. Akibatnya, sebagian kaum Muslim mengira bahwa pemikiran-pemikiran itu berasal dari Islam. Pemikiran-pemikiran tersebut seperti demokrasi, kebebasan, pluralisme politik, sosialisme, dan lain-lain. Sebaliknya, mereka menyerang sebagian pemikiran Islam—seperti jihad, hudûd, poligami, dan hukum-hukum syariat lainnya—sekaligus menyifatinya sebagai sesuatu yang tidak berperadaban dan tidak layak untuk masa sekarang.
Mereka menundukkan kajian terhadap nash-nash ajaran Islam di bawah metode berpikir ideologi Kapitalisme. Metode berpikir ala kapitalis, sebagaimana kita ketahui, senantiasa memperlakukan fakta sebagai sumber hukum, bukan mendudukkannya sebagai objek penerapan hukum; juga senantiasa menetapkan faktor manfaat (kemaslahatan) sebagai standar untuk mengambil atau menolak suatu hukum, bukannya halal dan haram. Inilah yang mendorong sebagian kaum Muslim untuk menciptakan sejumlah kaidah hukum Islam yang sebenarnya tidak disandarkan pada nash-nash syariat. Beberapa kaidah hukum tersebut antara lain dibungkus dalam istilah fiqh al-wâqi‘ (fikih faktual), yakni penetapan hukum dengan menjadikan fakta sebagai sumber hukum sembari mengesampingkan nash syariat; fiqh al-muwâzanât (fikih perbandingan), yakni penetapan hukum yang hanya didasarkan pada pertimbangan unsur manfaat dan madarat belaka; adh-dharûrah tubîh al-mahzhûrât (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan), yakni kaidah hukum yang benar tetapi acapkali disandarkan pada ukuran-ukuran kemadaratan yang absurd; dan sebagainya. Melalui beberapa kaidah hukum semacam ini, lunturlah sebagian hukum-hukum Islam serta hilanglah batas-batas yang membedakan antara ajaran yang palsu dan yang asli serta antara kufur dan Islam. Akibatnya, riba, misalnya, menjadi mubah (boleh) dan mati syahid dianggap bunuh diri.
Orang-orang kafir yang mengendalikan dialog antar-agama selalu berupaya untuk menguniversalkan sekaligus memperluas medan dialog. Dialog antara-agama, pada akhirnya, tidak hanya terbatas pada konferensi dan seminar saja, tetapi juga menjangkau seluruh komponen masyarakat: pria dan wanita; para intelektual dan pegawai (karyawaan); lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga studi; partai politik dan LSM; serta berbagai asosiasi seperti asosiasi buruh, pengusaha, pengacara, pedagang, dan lain-lain. Seperti yang diungkapkan oleh para peserta konferensi, kegiatan ini memang merupakan pengintegrasian diri dengan peradaban Barat dalam aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Ideologi Kapitalisme, sebagaimana yang mereka klaim, dengan sejumlah idenya seperti humanisme, rasionalisme, liberalisme, dan demokrasi, dianggap sebagai peradaban modern yang sukses. Sebaliknya, Islam dianggap sebagai agama taklid, mengajarkan kediktatoran, dan hanya berkutat pada warisan kebudayaan masa silam. Islam, katanya, mengajarkan kedaulatan agama, perbudakan, dan poligami. Pendeknya, Islam dianggap sebagai ajaran yang tidak berperadaban.
Di antara teknik pengecohan mereka atas kaum Muslim melalui berbagai konferensi dialog antar-agama adalah diikutseratakannya para peserta yang berakidah lain seperti para penganut agama Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain; di samping orang Islam, Kristen, dan Yahudi. Ini terjadi antara lain pada Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian di Jepang serta pada sebuah seminar di Beirut (Lebanon) tahun 1970. Dengan begitu, kaum Muslim tidak berpraduga bahwa hanya mereka saja yang menjadi sasaran dialog antar-agama. Aneh, bagaimana mungkin mereka yang disebut ulama kaum Muslim bisa menerima begitu saja Islam disetarakan dengan Budha dan agama-agama lain?!
Pandangan Hakiki Barat Terhadap Islam
Sesungguhnya Barat, sebagai pihak yang selama ini menyerukan dialog dengan kaum Muslim dan sekaligus memimpin berbagai konferensi dialog antar-agama, pada hakikatnya senantiasa memandang Islam dengan pandangan permusuhan. Pandangan inilah yang sekaligus menjadi motif bagi dialog antar-agama serta dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Ensiklopedi Kebudayaan Prancis, yang menjadi referensi banyak peneliti, mendeskripsikan Muhammad Rasulullah saw. sebagai “pembunuh”, “penculik para wanita”, dan “musuh terbesar bagi akal umat manusia”. Demikian halnya dengan mayoritas literatur akademis di Eropa Barat; juga menjelaskan sifat Rasulullah saw., Islam, dan kaum Muslim dengan sifat-sifat yang sangat keji.
Sementara itu, dalam buku The End of History karya pemikir Amerika, Francis Fukuyama, terdapat sebuah pernyataan, “Sistem Kapitalisme adalah babak akhir yang abadi bagi umat manusia di bumi. Akan tetapi, Islam, meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesungguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu, Kapitalisme).”
Sekjen NATO, Willie Claise, juga pernah mengatakan, “Islam fundamentalis adalah bahaya yang mengancam geopolitik masa depan.”
Orientalis Bernard Lewis juga menyatakan pandangannya tentang Islam dan Kapitalisme dengan ungkapan, “Keduanya bertentangan satu sama lain; tidak mungkin ada dialog di antara keduanya.”
Sementara itu, Samuel P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika dan direktur Institut John M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis di Universitas Harvard menyatakan, “Sesungguhnya benturan antar peradaban (clash of civilization) nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas pemisah antar-peradaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas konfrontasi antar-peradaban.”
Dia menambahkan, “Agama telah membedakan manusia dengan amat tegas dan jelas. Seseorang bisa saja setengah Prancis setengah Arab…. Akan tetapi, sangat sulit seseorang menjadi setengah Katolik setengah Muslim.”
Jika demikian pandangan Barat yang hakiki, lalu di mana sebenarnya posisi dialog yang mereka serukan kepada kita, kaum Muslim?
Jika berbagai pernyataan di atas dikaitkan dengan berbagai aksi permusuhan yang dilakukan oleh Barat untuk melawan Islam dan umatnya—seperti Perang Salib, pembasmian umat Islam di Spanyol, penghancuran Khilafah, pendirian negara Yahudi di Palestina, pemberian predikat “terorisme” dan “ekstremisme” terhadap Islam dan berbagai gerakannya—niscaya kita akan dapat memahami target-target dari dialog antar-agama yang diselenggarakan oleh Barat yang kafir dan ditujukan kepada kaum Muslim.
Beberapa Target Dialog Antar-Agama
Sesungguhnya target mendasar yang hendak diwujudkan oleh orang-orang Barat kapitalis dari dialog antar-agama dan antar-peradaban itu adalah menghalang-halangi kembalinya Islam ke dalam realitas kehidupan sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh. Alasan mereka, sistem Islam akan selalu menjadi ancaman bagi kelestarian ideologi dan peradaban Barat kapitalis, serta akan dapat memusnahkan segala kepentingan dan pengaruh mereka.
Sejumlah target sampingan untuk merealisasikan target mendasar dari dialog tersebut cukup banyak. Mereka, antara lain, berusaha mewarnai dunia dengan warna peradaban Kapitalisme, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi tempat hidup kaum Muslim. Upaya ini dimaksudkan untuk menggusur peradaban Islam sehingga Barat dapat lebih mudah menghapus tsaqâfah Islam dari benak kaum Muslim. Target ini diupayakan terwujud dengan cara mengguncang kepercayaan kaum Muslim terhadap tsaqâfah Islam berikut sumber-sumber dan asas-asasnya. Cara ini dimaksudkan untuk menyingkirkan Islam dari medan pertarungan atau konfrontasi antar-peradaban. Dengan cara semacam ini, Islam disterilkan dari karakter khasnya sebagai sebuah ideologi politik (‘aqîdah siyâsiyah); sebuah karakter Islam terpenting yang membedakannya dari agama-agama lain. Padahal, karakter Islam sebagai ideologi politik inilah yang telah mengharuskan dirinya mendirikan Negara Khilafah; sebuah negara yang akan mengatur seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia.
Target lainnya adalah membentuk kepribadian Muslim dengan format kepribadian yang baru, yakni pribadi yang tidak akan merasa bersalah jika meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman. Mereka juga berusaha merusak perasaan Islami pada diri seorang Muslim dan membunuh semangat (ghîrah) Islam yang ada dalam jiwanya. Dengan begitu, Muslim tersebut tidak mampu lagi membenci kekufuran dan orang-orang kafir, serta tidak mau memerintahkan kebajikan (Islam) dan mencegah kemunkaran (kekufuran).
Target lainnya lagi adalah melenyapkan ketahanan budaya (hadhârah) Islam dalam tubuh kaum Muslim—yang justru menjadi unsur penangkal terhadap setiap unsur pemikiran asing—sekaligus memupus “barikade-barikade” Islam yang mewujud dalam bentuk pola pikir (‘aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) karena dianggap berpotensi mengancam eksistensi peradaban kapitalis di negeri-negeri Islam. Dengan begitu, pemeliharaan atas segala pengaruh dan kepentingan mereka diharapkan dapat berlangsung mudah, sehingga pada gilirannya akan dapat menjamin kelestarian dan kesinambungan eksistensi mereka.
Lebih dari itu, dialog antar-agama ini—yang telah direkayasa oleh orang-orang kafir Barat, didukung oleh para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi agen mereka, serta dibantu oleh kroni mereka dari kalangan ulama dan intelektual—ditujukan pula demi menciptakan semacam “agama baru” bagi kaum Muslim, yakni sebuah “agama” yang didasarkan pada akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Padahal, akidah sekularisme telah menetapkan bahwa kewenangan membuat hukum adalah hak manusia, bukan hak Allah Swt. yang telah menciptakan manusia. Tindakan para perekayasa dialog antar-agama ini tampaknya merupakan contoh yang tepat dari apa yang dipaparkan dalam firman Allah Swt. yang berbunyi demikian:
وَلَا يَزَالُونَ يُقَـٰتِلُونَكُمۡ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمۡ عَن دِينِڪُمۡ إِنِ ٱسۡتَطَـٰعُواْ‌
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka mampu. (QS al-Baqarah [2]: 217).

وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَہُودُ وَلَا ٱلنَّصَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَہُمۡۗ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS al-Baqarah [2]: 120).
Peradaban Islam yang berasaskan akidah Islam berbeda dengan peradaban Kapitalisme yang berasaskan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Walhasil, titik temu di antara keduanya hakikatnya tidak mungkin ada. Oleh karena itu, dialog antar-agama yang dimotori oleh pihak Barat yang kafir itu sebetulnya lebih dimaksudkan agar kaum Muslim melepaskan persepsi-persepsi Islamnya sekaligus menggantinya dengan persepsi-persepsi Barat kapitalis. Alasannya, Barat sendiri telah sangat memahami bahwa mengkompromikan dua ideologi yang kontradiktif, yakni antara Islam dan Kapitalisme, adalah mustahil.
Dengan demikian, dialog antar-agama dan antar-peradaban untuk mencari titik temu di antara agama atau peradaban yang ada serta untuk menciptakan sebuah peradaban manusia yang baru hanyalah sebuah ilusi belaka. Justru yang harus ada adalah konfrontasi pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) di antara berbagai agama dan peradaban yang ada. Dengan begitu, akan dapat diketahui: mana yang benar dan mana yang batil; mana yang mulia dan mana yang hina; serta mana yang baik dan mana yang buruk. Allah Swt. berfirman:
فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءً۬ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمۡكُثُ فِى ٱلۡأَرۡضِۚ
Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, sementara yang memberi manfaat kepada manusia akan tetap ada di bumi. (QS ar-Ra‘d [13]: 17).
Dialog antar-agama yang diserukan Barat kepada kita sesungguhnya merupakan dialog yang bersifat sepihak. Dialog ini diprakarsai oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam berikut peradabannya dan kaum Muslim sebagai pemeluknya. Oleh karena itu, kaum Muslim harus mempersiapkan segala sarana yang memadai untuk melakukan pertarungan atau konfrontasi melawan musuh-musuh Islam yang hanya dapat diwujudkan melalui kembalinya Negara Khilafah. Negara Khilafah inilah yang akan terjun langsung ke dalam medan pertarungan fisik atau jihad (ash-shirâ‘ al-mâdî) maupun medan pertarungan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî). Semua upaya ini ditujukan dalam rangka menyebarluaskan peradaban Islam yang bermutu tinggi sekaligus memusnahkan peradaban kapitalis yang palsu dan bejat.
Wacana Tentang Anak-Cucu Nabi Ibrâhîm
Wacana atau perbincangan di seputar “Anak-Cucu Ibrâhim” lebih dimaksudkan untuk memperkuat legitimasi dialog di antara tiga agama (Islam Kristen, dan Yahudi). Wacana ini didasarkan pada anggapan bahwa ketiga agama samawi ini telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw., ‘Isâ a.s., dan Mûsâ a.s. yang masing-masing mempunyai bapak yang sama, yaitu Nabi Ibrâhîm a.s. Oleh karena itu, pemeluk ketiga agama ini harus hidup berdampingan secara damai, karena mereka, secara primordial, adalah berasal dari satu keturunan.
Ini dari satu segi. Dari segi lainnya, wacana atau perbincangan tentang “Anak-Cucu Ibrâhîm” ini dimaksudkan untuk mendukung apa yang disebut dengan “proses perdamaian” dan pembukaan hubungan diplomatik dengan Yahudi, sekaligus melancarkan satu poin di antara sejumlah poin konspirasi Barat-Yahudi yang ditujukan kepada Islam dan kaum Muslim, yaitu: mencaplok Palestina dan Masjid al-Aqsha; menancapkan pisau beracun dalam dada umat Islam; serta menjustifikasi kerjasama antara orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam guna menjalankan otoritas keagamaan dalam pengelolaan kota Yerussalem yang telah dianggap tempat suci untuk tiga agama. Alasan mereka, orang-orang Yahudi, Kristen, dan kaum Muslim pada dasarnya adalah orang-orang Islam; masing-masing berasal dari satu agama, yaitu “Agama Abraham” (Agama Ibrâhîm). Sementara itu, Ibrâhîm sendiri adalah Bapak Para Nabi (Abû al-Anbiyâ’).
Untuk membongkar sekaligus membantah kekeliruan pemikiran mereka, harus dijelaskan tiga poin berikut:
Pertama, aspek bahasa (baca: etimologi). Secara etimologis, kata aslama dalam makna generiknya adalah inqâda (tunduk, patuh, berserah diri). Al-Quran telah menggunakan makna bahasa ini dalam kisah para nabi dan pemberian sifat kepada mereka sebagai orang-orang yang tunduk-patuh kepada perintah Allah Swt. Allah Swt. telah berfirman melalui lisan Nabi Nûh a.s., nabi sebelum Ibrâhîm a.s., demikian:
إِنۡ أَجۡرِىَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِۖ وَأُمِرۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah semata. Aku diperintahkan supaya menjadi bagian dari golongan orang-orang yang berserah diri. (QS Yûnus [10]: 72).
Allah Swt. berfirman melalui lisan Nabi Ibrâhîm dan Ismâ‘îl a.s. sebagai berikut:
رَبَّنَا وَٱجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَيۡنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً۬ مُّسۡلِمَةً۬ لَّكَ
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu. (QS al-Baqarah [2]: 128).
Allah Swt. juga berfirman tentang kaum Nabi Luth a.s.:
فَمَا وَجَدۡنَا فِيہَا غَيۡرَ بَيۡتٍ۬ مِّنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
Kami tidak mendapati di negeri itu selain sebuah rumah orang yang berserah diri. (QS adz-Dzâriyât [51]: 36).
Allah Swt. pun berfirman melalui lisan Nabi Mûsâ a.s. demikian:
فَعَلَيۡهِ تَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّسۡلِمِينَ
Oleh karena itu, bertawakkallah kalian hanya kepada-Nya semata jika kalian benar-benar orang-orang yang berserah diri. (QS Yûnus [10]: 84).
Sementara itu, melalui lisan kaum Hawariyyun (para pengikut setia Nabi ‘Isâ a.s., Allah Swt. berfirman sebagai berikut:
ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَٱشۡهَدۡ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ
Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa kami sesungguhnya adalah orang-orang yang menyerahkan diri. (QS Ali ‘Imrân [3]: 52).
Dengan demikian, jelas bahwa kata muslimûn yang terdapat dalam beberapa ayat tersebut maknanya adalah munqâdûn (orang-orang yang patuh, tunduk, dan berserah diri). Artinya, mereka bukan berarti memeluk satu agama yang sama, yaitu Islam yang diturunkan kepada Muhammad saw. Alasannya, Islam belum dikenal oleh mereka, dan mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk agama Islam. Setiap kaum dari mereka mempunyai seorang rasul yang dikhususkan bagi mereka. Setiap rasul tersebut menyerukan syariat (aturan) tertentu kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
لِكُلٍّ۬ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةً۬ وَمِنۡهَاجً۬اۚ
Bagi tiap-tiap umat di antara kalian, Kami telah memberikan syariat (aturan) dan jalan yang terang. (QS al-Mâ’idah [5]: 48).
Ketika wahyu turun kepada Muhammad saw., wahyu tersebut telah mengarahkan perhatiannya pada sejumlah kata Arab tertentu. Melalui wahyu tersebut, sejumlah kata dalam bahasa Arab tersebut mengalami transformasi makna, yakni dari makna aslinya ke makna syar‘î yang dikehendaki; sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash syariat yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di antara kata-kata yang telah mengalami transformasi atau pemindahan makna ialah kata Islâm. Secara etimologis, kata Islâm bermakna inqiyâd (tunduk, patuh, berserah diri). Akan tetapi, secara terminologis, dalam konteks syariat, kata tersebut berarti agama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad saw. Makna ini, misalnya, terdapat dalam firman Allah Swt. yang ditujukan untuk semua manusia sampai Hari Kiamat:
وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينً۬اۚ
….dan Aku telah meridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (QS al-Mâ’idah [5]: 3).
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِينً۬ا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam, maka agamanya itu tidak akan pernah diterima. (QS Ali ‘Imrân [3]: 85).
Sementara itu, Rasulullah saw. juga pernah bersabda demikian:
بُيِنَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ…
Islam itu dibangun di atas dasar lima perkara….
Sebagaimana diketahui, agama-agama di luar Islam tidak dibangun di atas dasar lima perkara seperti tersebut dalam hadis di atas.
Dalam konteks ini berarti, setelah maknanya ditransformasikan (dipindahkan) ke makna syar‘î, semua kata yang merupakan pecahan dari kata Islâm—seperti aslama (fi‘l mâdhî) dan muslim (ism fâ‘il)—jika diucapkan tanpa didukung oleh adanya indikasi (qarînah) tertentu, maka yang dimaksud berarti makna syar‘î-nya, bukan makna yang lain. Sebaliknya, jika yang dimaksudkan memang makna bahasanya yang asli, maka harus ada indikasi (qarînah) yang mendukung adanya transformasi maknanya, yakni dari makna syar‘î ke makna bahasanya. Contohnya terdapat dalam firman Allah Swt. yang berbunyi demikian:
مَا كَانَ إِبۡرَٲهِيمُ يَہُودِيًّ۬ا وَلَا نَصۡرَانِيًّ۬ا وَلَـٰكِن كَانَ حَنِيفً۬ا مُّسۡلِمً۬ا
Ibrâhîm bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani. Akan tetapi, dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri. (QS Ali ‘Imrân [3]: 67).
Artinya, Ibrâhîm a.s. bukanlah penganut agama Islam, yakni agama yang khusus diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Akan tetapi, ia adalah seorang yang tunduk-patuh (munqâd) pada apa saja yang diturunkan oleh Allah kepada dirinya. Dia sendiri bukan termasuk orang Yahudi ataupun seorang Nasrani (Kristen); dua kelompok manusia yang justru telah melakukan perubahan terhadap agama para nabi mereka.
Dengan demikian, maksud dari pernyataan bahwa Nabi Muhammad, Nabi ‘Isâ, dan Nabi Mûsâ telah mengikuti agama Ibrâhîm adalah bahwa mereka mengimani akidah yang sama, yakni akidah tauhid (monoteisme) sebagai dasar atau inti semua agama yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang dimaksud dari firman Allah Swt. yang berbunyi demikian:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحً۬ا وَٱلَّذِىٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦۤ إِبۡرَٲهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ
Dia telah mensyariatkan bagi kalian dari agama ini apa saja yang pernah diwasiatkan kepada Nûh; apa saja yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); serta apa saja yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrâhîm, Mûsâ, dan ‘Isa, yaitu, “Tegakkan agama dan janganlah kalian berpecah belah di dalamnya.” (QS asy-Syûrâ [42]: 13).
Walhasil, agama (ad-dîn) yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah dasar atau inti agama (ashl ad-dîn), yakni akidah tauhid. Sementara itu, syariat mereka masing-masing tidaklah sama, karena ayat tersebut telah di-takhsîs (dikecualikan) oleh firman Allah Swt. berikut:
لِكُلٍّ۬ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةً۬ وَمِنۡهَاجً۬اۚ
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami telah memberikan syariat (aturan hidup) dan jalan yang terang. (QS al-Mâ’idah [5]: 48).
Kedua, aspek syar‘î. Allah Swt. telah mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para nabi untuk seluruh umat manusia. Mereka semua dituntut untuk meninggalkan agama-agama mereka, baik agama samawi ataupun bukan, dan mengambil Islam sebagai agama mereka. Siapa saja yang memenuhi tuntutan ini dipandang telah masuk Islam. Sebaliknya, siapa saja yang tidak memenuhinya dipandang telah kafir. Allah Swt. berfirman:
وَقُل لِّلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡأُمِّيِّـۧنَ ءَأَسۡلَمۡتُمۡۚ فَإِنۡ أَسۡلَمُواْ فَقَدِ ٱهۡتَدَواْۖ وَّإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡكَ ٱلۡبَلَـٰغُۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ
Katakanlah kepada orang-orang yang diberi Kitab dan orang-orang yang ummi, ”Apakah kalian mau masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. Sebaliknya, jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah) saja. Allah Maha Melihat atas hamba-hamba-Nya. (QS Ali ‘Imrân [3]: 20).
Allah Swt. juga berfirman:
لَمۡ يَكُنِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأۡتِيَہُمُ ٱلۡبَيِّنَةُ (١) رَسُولٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ
Orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu seorang rasul Allah (Muhammad)…. (QS al-Bayyinah [98]: 1-2).
Artinya, orang-orang Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tidak dapat dikatakan telah meninggalkan kekufuran, kecuali jika mereka masuk Islam, yakni mengikuti agama Muhammad saw.
Sementara itu, Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيَّ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أَرْسَلَتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari kalangan umat ini mendengar tentang aku, baik Yahudi ataupun Nasrani, lalu mati sementara dia tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka. (HR Muslim).
Walhasil, seluruh umat manusia telah diseru untuk memeluk Islam. Siapa saja yang tidak mau memeluk Islam setelah diajukan hujjah kepadanya, secara pasti dia berarti termasuk orang kafir. Orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad saw., jika mereka tetap saja menganut agama mereka masing-masing, berarti mereka adalah orang-orang kafir. Demikian menurut nash al-Quran. Artinya, haram hukumnya menyifati mereka sebagai orang-orang Muslim. Siapa saja yang, secara i‘tiqâdî, meyakini bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen serta para penganut agama lain adalah juga termasuk orang-orang Muslim, sungguh dia telah kafir. Alasannya, dengan itikadnya tersebut berarti dia telah mengingkari nash-nash syariat yang qath‘i tsubût (pasti sumbernya) dan qath‘i dalâlah (pasti maknanya). Seandainya dia mati dalam keadaan berkeyakinan seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.
Ketiga, aspek yang menyangkut wacana tentang “Anak-Cucu Ibrâhîm a.s.” Sebenarnya, wacana atau perbincangan di seputar “Anak-Cucu Ibrâhîm” ini menyeru kaum Muslim ke arah ikatan primordialisme atas dasar kebangsaan (râbithah qawmiyah). Padahal, pada faktanya, ikatan primordialisme semacam ini merupakan ikatan yang bersifat emosional dan bermutu rendah yang lahir dari naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya (gharîzah al-baqâ’). Ikatan semacam ini tidak bisa dipandang sebagai sebuah ikatan yang manusiawi. Alasannya, ikatan ini memang tidak layak untuk dijadikan faktor pengikat seorang manusia dengan manusia lainnya ketika dihadapkan pada realitas bahwa keduanya, misalnya, berbeda dalam asal-usul keturunan atau nasabnya. Apalagi, pada saat yang sama, ikatan primordial yang disandarkan pada asal-usul anak-cucu Nabi Ibrâhîm a.s. sesungguhnya telah terhapus oleh zaman; tidak ada lagi faktanya dalam realitas kehidupan. Orang-orang yang bernasab kepada Ibrâhîm dan keturunannya telah bercampur baur dengan bangsa-bangsa lain sebagai konsekuensi dari adanya hubungan perkawinan, pergaulan, migrasi, dan peperangan. Oleh karena itu, sangat sulit dan bahkan mustahil jika kita kini berupaya membedakan mereka dari manusia yang lain.
Di samping itu, pada faktanya, para pengikut ketiga agama tersebut—yakni Islam, Kristen, dan Yahudi—berasal dari segala bangsa dan suku yang ada di dunia, yang masing-masing telah terintegrasi atas dasar agama, bukan atas dasar asal-usul keturunan. Atas dasar itu, istilah “Anak-Cucu Ibrâhîm” untuk menyebut para pemeluk agama Islam, Yahudi, dan Kristen—termasuk mereka yang tinggal di sekitar Masjid al-Aqsha atau yang lainnya adalah sebutan yang gegabah, serampangan, dan tidak benar. Isitilah ini sebetulnya lebih dimaksudkan untuk memerangi Islam dan kaum Muslim, menjustifikasi proses perdamaian yang dipaksakan, serta meligitimasi pembukaan hubungan diplomatik dengan negara Yahudi yang bercokol di tanah kaum Muslim yang mereka rampas. Semua ini ditujukan dalam rangka memberikan legalitas atas berbagai tindakan kriminal yang sangat menjijikkan yang telah diperbuat oleh para penguasa yang berkhianat atas dasar suruhan para majikan mereka yang kafir.
Ikatan primordial atas dasar kebangsaan (râbithah qawmiyah) maupun kekeluargaan (râbîthah usriyah), seperti halnya ikatan “Anak-Cucu Ibrâhîm a.s.”, tidak dibenarkan oleh syariat untuk dijadikan dasar bagi pengaturan interaksi antar sesama manusia. Allah Swt. berfirman:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُڪُمۡ وَإِخۡوَٲنُكُمۡ وَأَزۡوَٲجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٲلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَـٰرَةٌ۬ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَـٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡڪُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ۬ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِىَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِينَ
Katakanlah, “Seandainya bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, dan anggota keluarga kalian; harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24).
Artinya, jelas bahwa perintah Allah Swt. lebih tinggi kedudukannya daripada ikatan primordial atas dasar kebangsaan atau kekeluargaan ataupun ikatan yang didasarkan pada aspek kemanfaatan. Allah Swt. telah menjelaskan kepada para nabi sebelumnya mengenai betapa lemahnya ikatan-ikatan semacam ini. Allah Swt., misalnya, berfirman:
وَنَادَىٰ نُوحٌ۬ رَّبَّهُ ۥ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ٱبۡنِى مِنۡ أَهۡلِى وَإِنَّ وَعۡدَكَ ٱلۡحَقُّ وَأَنتَ أَحۡكَمُ ٱلۡحَـٰكِمِينَ (٤٥) قَالَ يَـٰنُوحُ إِنَّهُ ۥ لَيۡسَ مِنۡ أَهۡلِكَۖ إِنَّهُ ۥ عَمَلٌ غَيۡرُ صَـٰلِحٍ۬ۖ
Nûh berdoa kepada Tuhannya sambil berkata, “Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah benar, sementara Engkau adalah Hakim Mahaadil.” Allah lantas berfirman, “Nûh, (ingatlah) sesungguhnya dia tidak termasuk anggota keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), dan sesungguhnya (perbuatan)-nya adalah tidak baik.” (QS Hûd [11] : 45-46).
Allah Swt. juga berfirman mengenai Ibrâhîm a.s.:
قَالَ إِنِّى جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامً۬اۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِىۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِى ٱلظَّـٰلِمِينَ
Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan dirimu imam bagi seluruh manusia.” Ibrâhîm kemudian berkata, “(Saya berharap) juga dari keturunanku.” Allah berfirman, “Janji-Ku ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.” (QS al-Baqarah [2]: 124).
Ayat di atas secara tegas menerangkan bahwa anak Nabi Nûh a.s. sendiri, dalam pandangan syariat, ternyata tidak dipandang sebagai bagian dari keluarganya, karena dia tidak beriman dengan risalah yang diturunkan Allah kepada ayahnya. Demikian pula orang-orang zalim dari keturunan Nabi Ibrâhîm a.s. Mereka dikecualikan dari kepemimpinan umat yang telah dijanjikan oleh Allah jika mereka tidak mengikuti risalah yang diturunkan Allah kepada Bapak mereka, Ibrâhîm a.s.
Oleh sebab itu, propaganda ide “Anak-Cucu Ibrâhîm a.s.” saat ini sesungguhnya adalah propaganda jahiliyah yang lebih didasarkan pada motif yang bersifat politis dan sangat tendensius, sehingga kaum Muslim jelas haram untuk menyerukan dan mempromosikannya. Pasalnya, maksud sebenarnya dari dimunculkannya gagasan semacam ini, antara lain, adalah untuk: memerangi Islam; memalingkan kaum Muslim dari agamanya; menjustifikasi proses perdamaian yang penuh pengkhianatan antara kaum Muslim dengan orang-orang Yahudi kafir; memaksa kaum Muslim agar menyerahkan bumi Palestina yang telah mereka jarah; mengesahkan hubungan diplomatik dengan mereka; serta menerima eksistensi negara Israel di Timur Tengah. [disadur dari buku "Mafâhîn Khatirah li Dharb al-Islâm wa Tarkiz al-Hadhârah al-Garbiyah" - Persepsi-Persepsi Berbahaya Untuk Menghantam Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat; Karya Abdul Qadim Zallum; 1419 H; dikeluarkan Oleh Hizbut Tahrir]

Tidak ada komentar: