Kantor Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Nomor: 147/PU/E/12/08
Jakarta, 18 Desember 2008 M
Refleksi Akhir Tahun 2008
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Selamatkan Indonesia Dengan Syariah – Menuju Indonesia Lebih Baik
Tahun 2008 sebentar lagi akan berakhir, dan fajar tahun 2009 segera menyongsong. Banyak peristiwa ekonomi, politik, sosial - budaya dan sebagainya yang telah terjadi di sepanjang tahun ini. Terhadap sejumlah isu terhangat di sepanjang tahun 2008, Hizbut Tahrir Indonesia memberikan catatan sebagai berikut:
1. EKONOMI INDONESIA:
Di bawah Bayang Kebobrokan Kapitalisme, Kehidupan Rakyat Makin Sengsara
Keadaan ekonomi Indonesia di penghujung tahun 2008 diakhiri dengan rasa duka akibat terpaan krisis finansial global. Ini konsekuensi yang tidak bisa dielakkan mengingat sistem ekonomi Indonesia, khsususnya di bidang keuangan telah menjadi bagian dari sistem ekonomi Kapitalis global.
Secara teknis, krisis finansial global diawali oleh kredit macet di sektor perumahan di AS. Dampaknya telah membangkrutkan sejumlah lembaga keuangan besar di AS, antara lain Lehman Brother yang meninggalkan utang lebih dari 613 milliar dollar dan mempurukkan harga saham. Bukan hanya di AS, tapi juga di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Tapi secara fundamental, krisis finansial global ini dipicu oleh 4 faktor utama, yakni sistem keuangan ribawi, perdagangan saham dan bursa komoditas yang penuh dengan spekulasi serta penggunaan uang kertas, khususnya dollar sebagai denominasi utama. Sistem keuangan ribawi memang telah lama ada, tapi sistem ini menjadi lebih ganas sejak Kapitalisme naik daun.
Liberalisme, inti utama dari paham Kapitalisme, membolehkan individu untuk mengembangkan kepemilikan di aneka bidang tanpa batas. Tentu saja itu tidak mungkin dilakukan sendiri. Harus dilakukan bersama orang lain. Dibentuklah sistem perseroan, dimana setiap pesero memiliki saham yang merupakan cerminan kepemilikan dari aset riil perusahaan itu dengan harapan di akhir tahun mendapatkan deviden. Dengan bantuan kredit dari perbankan, usaha perseroan itu semakin besar karena modal yang dimiliki semakin besar. Sementara, bank diuntungkan karena mendapatkan bunga dari perusahaan yang sebagiannya diberikan lagi ke nasabah penyimpan uang.
Dengan semangat untuk bisa mendapat untung lebih besar, saham-saham itu kemudian dibuat menjadi lebih liquid, artinya dapat diperdagangkan. Bila orang butuh uang tunai, tidak lagi harus menunggu dan berharap pada dividen tahunan, namun cukup mengharap pada kenaikan harga sahamnya. Dari sini muncul pasar modal (bursa saham).
Maka, bila ada dana lebih (excess fund), orang punya banyak pilihan. Bisa masukkan ke bank, atau beli saham atau beli dollar. Tapi bila suku bunga bank rendah, orang akan lari ke dollar atau saham sehingga indeks bursa naik. Tapi untuk mencegah spekulasi terhadap dollar, khususnya ketika terjadi gejolak nilai tukar, suku bunga dinaikkan. Orang akan lari ke bank dengan menjual saham, sehingga indeks saham turun. Biasanya kebijakan ini ditempuh untuk menghindari larinya modal ke luar negeri ketika pasar modal sedang lesu atau tidak percaya kepada sistem, misalnya karena gonjang-ganjing politik.
Sistem bursa saham (yang memperdagangkan surat-surat saham) ini lalu ditiru pasar komoditas. Muncullah bursa komoditas berjangka, dimana yang diperdagangkan adalah surat komitmen pengiriman komoditas. Transaksi di bursa komoditas inilah yang mendorong kenaikan harga komoditas seperti minyak yang tidak lagi rasional karena tidak lagi berhubungan dengan mekanisme suplly and demand. Misalnya, harga minyak mentah pernah melambung hingga mencapai 147 US$/barrel, yang membuat pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia kesulitan mengatur anggaran.
Kapitalisme bukan hanya bergerak di sektor keuangan, tapi juga di sektor pengelolaan SDA. Maka, meski negeri ini kaya sumber daya energi (minyak, gas alam, batubara, panas bumi, dan sumber energi terbarui) dan SDM-nya pun relatif mampu mengelolanya, namun realitasnya semua kekayaan itu lebih banyak dinikmati bukan oleh rakyat tapi oleh perusahaan swasta, termasuk swasta asing dengan berbagai keanehan. Misalnya, lifting minyak Indonesia jauh dari kebutuhan, malah cenderung turun meski harga minyak naik. Demikian juga kapasitas kilang kita tidak bertambah, sehingga minyak mentah kita harus diolah di Luar Negeri, dijual murah untuk dibeli kembali dengan harga lebih mahal. Batu bara dan gas alam kita juga dijual amat murah antara lain ke Cina, sehingga de facto kita mensubsidi pertumbuhan ekonomi Cina itu.
Krisis finansial global ini sesungguhnya tidaklah mengejutkan. Sistem keuangan Kapitalis memang tidak pernah bisa menghasilkan kestabilan ekonomi. Pertumbuhannya bersifat siklik. Maksudnya, bila tampak tumbuh, ia sedang tumbuh menuju puncak untuk kemudian jatuh. Dalam kajian IAEII, dalam seratus tahun terakhir terjadi 20 kali krisis. Artinya, rata-rata tiap 5 tahun sekali terjadi krisis. Tahun 1930-an terjadi depresi besar ketika pasar modal runtuh akibat orang tidak lagi percaya bahwa nilai sahamnya akan bertahan, sehingga mereka melakukan aksi jual. Ketidakpercayaan ini bisa bermula dari melihat kinerja perusahaan yang sahamnya dimiliki, misal perusahaan itu banyak utang, atau tagihan-tagihannya macet. Ini yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, ketika bank-bank investasi dan asuransi kesulitan menagih kredit di sektor perumahan. Akibatnya, bank-bank kesulitan likuiditas (tak ada uang balik). Sahamnyapun jatuh. Mirip tahun 1929.
Namun berbeda dengan sekarang, pada krisis 1929 masih ada hal yang bertahan yaitu sistem mata uang emas atau uang yang hampir 100% dijamin emas. Tapi pilar terakhir itu pun kini tidak ada lagi. Semula, karena banyak negara bangkrut di dua perang dunia, dan Amerika Serikat adalah satu-satunya negara saat itu yang masih kuat ekonominya kuat, maka US$ dijamin penuh dengan emas, di mana 1 troy ounce (sekitar 31 gram emas 24 Karat) sama dengan 35 US$. Mata uang negara lain lalu distandarkan nilainya pada US-Dollar. Kesepakatan ini dilakukan di kota Bretton Wood (AS) sehingga disebut perjanjian Bretton Wood. Perang Vietnam dan defisit APBN membuat pada tahun 1971 AS secara sepihak melepaskan mata uangnya dari emas. Akibatnya sejak 1971, US$ terus melemah. Tahun 2008 ini 1 troy-ounce emas sudah setara dengan sekitar US$ 700, atau melemah 2000% dalam 40 tahun.
Akibat krisis finansial ini, warga AS lebih percaya memegang uang kas daripada lembar kertas saham. Banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK seiring dengan lesunya kegiatan ekonomi di sana. Bank-bank atau lembaga keuangan lain, yang kerap menanamkan uangnya di luar negeri (tentunya juga melalui pasar modal) pun ramai-ramai melepas surat berharganya untuk ditukar dengan US$ untuk mengamankan likuiditasnya. Akibatnya, di mana-mana, termasuk di Indonesia, permintan atas US$ meningkat pesat sehingga kurs US$ naik terhadap mata uang lokal.
Karena dollar AS mengalami apresiasi, industri yang berbahan baku impor terpukul. Namun pada saat yang sama, industri yang berorientasi ekspor (dan mestinya beruntung oleh kenaikan kurs US$) tidak dapat menikmatinya, karena di luar negeri (terutama AS), ekonomi sedang lesu, konsumsi turun, sehingga permintaan barang dari Indonesia turun. Maka, tak terhindarkan perusahaan-perusahaan di Indonesia juga terpaksa melakukan PHK besar-besaran. Pengangguran dan kemiskinan dipastikan akan meningkat tajam. Globalisasi yang dibangun dengan Kapitalisme di tengah menuju jurang kehancurannya.
Pemerintah dibantu para pakar berusaha membuat beberapa paket penyelamatan krisis, misal dengan baill-out (bantuan likuiditas, intinya negara mencetak uang - ditukar dengan surat utang negara), lalu dibuat proyek-proyek padat karya, keringanan pajak dan sebagainya, termasuk penurunan harga premium memang akan sedikit mengurangi rasa perih akibat krisis. Namun selama akar krisis ini tidak dihilangkan, krisis itu akan terus berlangsung dan berulang.
2. POLITIK DALAM NEGERI:
Kejenuhan Demokrasi
Indonesia telah dianggap sebagai negara demokrasi di dunia. Presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota dipilih langsung. Tapi rangkaian pilkada itu memakan biaya sangat mahal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh para kandidat. Ironisnya, pilkada langsung itu tidak berefek langsung pada perbaikan kehidupan rakyat. Yang terjadi justru ada sebaliknya, lahirnya efek negatif, seperti polarisasi kelompok masyarakat dan merenggangnya interaksi sosial di antara masyarakat itu sendiri.
Rakyat Indonesia mulai merasa jenuh dengan proses demokrasi yang ada. Hal ini kemudian mendorong berkembangnya apatisme, ditandai dengan makin tingginya angka golput. Dari sejumlah pilkada di tahun 2008, ”dimenangi” oleh golput. Golput di pilkada Jawa Barat 33%, Jawa Tengah 44%, Sumatera Utara 43% dan pilkada Jatim putaran I sebesar 39,2% dan putaran II sekitar 46%. Angka golput pada sejumlah pilkada kabupaten/kota pun banyak yang berkisar antara 30 – 40% bahkan lebih. Fenomena itu diperkirakan terus berlangsung pada Pemilu 2009 nanti.
Make up dan Pragmatisme Politik
Di dalam demokrasi, citra politisi atau partai dianggap menentukan perolehan suara. Maka masa kampanye yang panjang, sekitar 9 bulan, pun betul-betul dimanfaatkan oleh para politisi dan parpol. Bermunculanlah iklan politik politisi dan partai. Layaknya iklan lainnya, keindahan iklan politik itu juga ”tak seindah warna aslinya”. Inilah make up politik. Partai Demokrat, mencitrakan kesuksesan pemerintahan SBY dengan menampilkan penurunan angka kemiskinan di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi 6%. Faktanya, harga BBM dinaikkan, harga-harga kebutuhan melambung, angka pengangguran terus meningkat, banyak industri UKM gulung tikar dan sejumlah industri besar terancam ambruk dan mem-PHK karyawannya. Kehidupan rakyat pun tetap atau bahkan makin sulit, hingga banyak dari rakyat rela mempertaruhkan nyawa hanya demi uang dua-tiga puluh ribu rupiah seperti dalam pembagian zakat saat Idul Fitri 1429 H yang lalu.
Seiring dengan besarnya keinginan partai politik untuk meraih dukungan, pragmatisme politik makin kuat terjadi. Hal ini tampak dari koalisi-koalisi yang dibentuk dalam pilkada dan gagasan atau wacana yang dilontarkan parpol. Pragmatisme politik membuat warna ideologi partai menjadi kabur. Untuk partai politik sekuler mungkin tidak menjadi masalah, tapi ternyata pragmatisme politik juga melanda parpol Islam. Bahkan ada parpol Islam yang mengatakan bahwa perjuangan ideologi sudah tidak lagi relevan. Bila demikian, lantas apa fungsi dari adanya parpol Islam?
Dukungan Kepada Syariah Makin Menguat
Di sisi lain, sejumlah survai memperlihatkan bahwa dukungan kepada penerapan syariat dari semakin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survei tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Sedangkan survei tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.
Hasil survai aktivis gerakan mahasiswa nasionalis pada tahun 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya menunjukkan sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Kompas, 4/3/2008). Sementara, survai Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, Syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka (The Jakarta Post, 24/6/’08). Dan survei terbaru dilakukan oleh SEM Institute menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.
Sejumlah hasil survei itu menunjukkan masih adanya harapan yang terbentang bagi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Syariah Islam diyakini akan membawa perbaikan dan kebaikan, keadilan dan kesejahteraan bagi bukan hanya masyarakat Indonesia tapi juga dunia.
3. PROBLEMA SOSIAL
Pengangguran dan Kemiskinan
Pengangguran dan kemiskinan menjadi problem sosial terberat sepanjang tahun 2008. Apalagi setelah badai krisis finansial global mulai melanda Indonesia. Diperkirakan angka pengangguran dan kemiskinan akan meningkat tajam. Cepat atau lambat ini akan berpengaruh pada aspek lain. Misalnya, peningkatan angka kriminalitas, gangguan kesehatan jiwa, peningkatan angka putus sekolah, malnutrisi dan sebagainya. Sebelumnya, Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan warga miskin tahun ini akan bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92%).
LIPI mengatakan lonjakan tersebut terutama diakibatkan kebijakan kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah beberapa saat yang lalu sebesar 28,7%. Jadi jumlah penduduk miskin di Indonesia di tahun 2008 diperkirakan akan naik 4,5 juta orang dibandingkan tahun 2007. Kondisi penduduk miskin tahun 2007 mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58%, dengan garis kemiskinan Rp 166.697/orang/bulan. Dengan adanya kenaikan harga BBM, hingga bulan Desember 2008 diperkirakan kebutuhan hidup layak bagi tiap individu adalah sebesar Rp 195.000/orang/bulan.
Sementara angka pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara besaran, pada tahun 2008 ini, tercatat sebanyak 4,5 juta orang dari 9,4 juta orang yang termasuk pengangguran adalah lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik. Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja.
Yang memprihatinkan pula, besaran pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 tercatat sebesar 17 persen, menjadi 26 persen pada tahun 2004, dan kini pada tahun 2008 meningkat menjadi 50,3 persen. (http://www.theindonesianinstitute.com).
Korupsi
Telah banyak diketahui bahwa Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Telah banyak pejabat atau mantan pejabat yang diadili dan dihukum akibat melakukan korupsi semasa menjabat. Ini tentu merupakan kemajuan, karena sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi. Di masa lalu, makin tinggi jabatan seseorang, makin aman dari jeratan hukum. Tapi untuk memberantas korupsi dan menciptakan negeri bebas korupsi, langkah-langkah tadi tentu belum cukup. Harus ada tindakan lain, seperti pembuktikan terbalik. Artinya, terdakwa lah yang harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinya itu didapat dari jalan yang halal. Juga harus ada hukuman yang keras dan teladan dari pemimpin. Dan yang paling penting harus ada budaya takut kepada Allah dan adzab di akhirat dari mengambil harta dengan cara haram.
Kriminal: Meningkatnya Kasus Mutilasi
Tekanan dan beban hidup yang semakin berat dipercaya mendorong peningkatan angka kriminalitas. Tapi ada yang sangat menonjol di sepanjang tahun 2008, yakni meningkatnya kasus mutilasi. Mutilasi menjadi modus operandi favorit bagi pelaku pembunuhan. Sejak Januari hingga September 2008 tercatat ada 6 kasus mutilasi yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Namun baru 2 dari 6 kasus itu yang pelakunya diciduk (http://www.detiksport.com).
Selama 2008, kasus mutilasi juga terjadi di daerah-daerah lain seperti di Gunung Batu, Cicendo Bandung pada 30/8/08 (Pikiran Rakyat, 27/10/08), di Bima yang melibatkan tiga pelaku (nusatenggaranews.com), di Semarang (Solopos.com), di desa Pering Gianyar Bali (elShinta.com) dan masih ada kasus lainnya di tempat lain. Menurut kriminolog Erlangga Masdiana, semakin maraknya mutilasi ini juga tidak terlepas dari peran media massa. “Media sebagai sumber pembelajaran atau socio learning, sehingga timbul imitatif effect (efek peniruan),” katanya (kilasberita.com). Yang jelas makin meningkatnya jumlah dan ragam kriminaltas menunjukkan bahwa hukum tidak memberikan efek jera sehingga bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan. Itu artinya hukum yang ada tidak memadai untuk mencegah dan memberantas kriminalitas.
Pornografi
Oleh Associated Press (AP), Indonesia dinilai sebagai negara paling liberal dalam urusan pornografi nomor dua setelah Rusia. Terbitan-terbitan yang berbau pornografi dan berbagai porno aksi terus saja beredar luas tak tersentuh oleh hukum. Majalah Playboy Indonesia yang jelas mengusung pornografi malah diputus tak bersalah oleh PN Jakarta Selatan. Di dunia cyber, menurut Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, Inke Maris, Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar pengakses internet dengan kata seks (Republika, 22/9/08).
UU Pornografi akhirnya memang disahkan. Hanya saja telah berubah jauh dari draft dan semangat awal untuk memberantas pornografi dan pornoaksi. Kata anti pun hilang. Masalah pornoaksi juga tidak disinggung. Pornografi malah ada yang diperbolehkan. Yang dilarang hanya lima materi: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; dan alat kelamin. Maka alih-alih memberantas pornografi, yang terjadi nanti UU itu justru dikhawatirkan malah akan melegalkan pornografi dan porniaksi dibawah diktum pornografi yang diperbolehkan.
Naiknya pengidap virus HIV/AIDS
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981. Ini membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan dalam sejarah. Di Indonesia menurut data Departemen Kesehatan sampai dengan 31 Maret 2008 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 11.868 kasus di 32 povinsi yang tersebar di 194 Kabupaten/Kota. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal adalah 20,95%. Hasil estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 adalah 193.000.
Proporsi kumulatif tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,79%) dan kelompok umur 40-49 tahun (7,89%). Kasus terbanyak di DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 31 Maret 2008 adalah 5,23 per 100.000 penduduk. Sementara rate kumulatif tertinggi di provinsi Papua (75,312), DKI Jakarta (33,995), Bali (23,012), Kep. Riau (20,397), Kalimantan Barat (18,828), Maluku (11,506), Papua Barat (9,937), Bangka Belitung (6,799), dan Sulawesi Utara (5,753).
Menurut Juru Bicara Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tini Suryanti, jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 4.288 orang meningkat dari 2.849 penderita tahun lalu. Jumlah ini, lanjut Tini, masih fenomena gunung es. “Yang tidak terdeteksi bisa 100 kali lebih banyak,” katanya. Jakarta Barat menurut Tini adalah wilayah paling besar pengidap HIV/AIDS dibandingkan wilayah lain karena Jakarta Barat memiliki banyak tempat hiburan malam. (TEMPO Interaktif, 30/11/08).
Data juga menunjukkan bahwa medium penyebaran virus mematikan itu paling besar melalui jarum suntik dan seks berganti-ganti pasangan. Sejauh ini, tidak terlihat upaya penanganan virus HIV/AIDS ini secara mendasar. Kondomisasi yang telah terbukti gagal justru terus dipromosikan. Pelacuran juga masih dibiarkan berlangsung bebas. Bila penanganan masih dengan cara konvensional seperti yang sekarang ini terjadi, dipastikan pengidap virus HIV/AIDS akan semakin banyak di tahun mendatang.
4. LUAR NEGERI
Ancaman Disintergrasi
Hubungan luar negeri masih ditandai dengan dominasi Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya terhadap Indonesia. Hal ini tampak dari adanya intervensi negara-negara adidaya yang mengarah pada dukungan langsung atau tidak langsung terhadap upaya disintegrasi beberapa kawasan strategis Indonesia terutama Papua dan Aceh.
Dengan dalih penghormatan pada kebebasan berpendapat, 40 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) meminta agar Presiden membebaskan tanpa syarat dua tokoh gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage dari hukuman. Surat itu merupakan bukti yang sangat nyata bukan hanya tentang adanya campur tangan AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia, tapi juga adanya dukungan terhadap gerakan separatis OPM. Sementara itu sikap pemerintah yang terlampau memberikan jalan kepada negara asing dan LSM internasional untuk menyelesaikan persoalan Aceh juga berbahaya terhadap integrasi Indonesia.
Kampanye War on Terrorism (WOT)
Ketundukan Indonesia terhadap AS dan sekutunya sangat jelas, misalnya terlihat dalam agenda perang melawan terorisme (war on terrorist). Dilihat dari target WOT, stigma negatif terhadap Islam dan kelompok Islam tampak menonjol seperti penggunaan istilah jama’ah Islamiyah, jihad yang sering dikaitkan dengan kelompok al-Qaida. Paling banyak diawasi, dicurigai bahkan diburu sebagai pelaku adalah umat Islam atau kelompok Islam yang dianggap pernah terlibat berjihad dalam perang Afghanistan, Thailand Selatan (Pattani), Philipina Selatan (Moro), atau mereka yang pernah ikut membela umat Islam dalam konflik Ambon dan Poso.
Pemerintah Indonesia sepertinya enggan mengungkap siapa sebenarnya master mind dari perbagai peledakan di Indonesia. Dalam kasus bom Bali misalnya, memang, Amrozi dan kawan-kawan yang telah dihukum mati memang mengakui telah menyiapkan bom, tapi benarkah bom sangat besar itu adalah benar-benar bom yang dibuat oleh Amrozi dan kawan-kawan? Keraguan semacam ini akan terus ada mengingat banyak sekali fakta-fakta yang sangat gamblang yang menunjukkan tentang kemungkinan adanya bom yang sengaja ditumpangkan oleh pihak lain.
Hal ini menimbulkan kesan kuat terorisme yang selama ini terjadi adalah fabricated terrorism atau terorisme yang diciptakan. Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak pada apa yang disebut kampanye war on terrrorism yang didengungkan AS karena kampanye ini hanyalah kedok (mask) untuk menutupi maksud sesungguhnya, yakni war on Islam.
Sementara, terhadap Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas yang telah dieksekusi, didoakan semoga meninggal dalam keadaan khusnul khatimah dimana seluruh amal shalehnya diterima oleh Allah SWT, dan segala dosa, kesalahan dan kekhilafah mereka diampuni, sehingga di Akhirat mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Nya.
NAMRU dan Intervensi AS
Lemahnya Indonesia bila berhadapan dengan AS juga terlihat dalam kasus unit penelitian medis Angkatan Laut AS (Naval Medical Research Unit 2) atau Namru-2. Polemik tentang keberlangsungan laboratorium Namru-2 di Indonesia belum berakhir. Meskipun Menteri Kesehatan sudah berulang kali menyatakan proyek kerjasama dengan Angkatan Laut AS tak bermanfaat dan harus dihentikan, termasuk Menristek Kusmayanto Kadiman yang meminta Namru-2 dibekukan, namun Namru tetap berdiri tegak.
Ngototnya pemerintah AS untuk mempertahankan Namru termasuk ngotot meminta 20 stafnya diberikan kekebalan diplomatik tentu menjadi pertanyaan. Sekaligus semakin menegaskan bahwa unit ini lebih banyak untuk kepentingan negara adidaya itu. Diketahui, Namru-2 diberi banyak kelonggaran, termasuk kekebalan diplomatik untuk stafnya guna memasuki seluruh wilayah Indonesia. Padahal Namru-2 bukan bagian dari kegiatan diplomasi .
Diduga, Namru-2 juga melakukan kegiatan intelijen mengumpulkan data dan informasi tentang penyakit, terutama penyakit menular dan berbahaya, yang sangat penting bagi AS, khususnya militernya. Lewat Namru-2, spesimen virus dan penyakit menular berbahaya ada di Indonesia bisa dibuat untuk berbagai kepentingan termasuk senjata biologis. Yang jelas, berlarut-larut dan terkesan begitu sulitnya memutuskan penghentian Namru-2, seolah semakin menguatkan dugaan bahwa Pemerintah, termasuk kalangan di DPR, tunduk pada tekanan asing (AS).
Ketika isu terorisme belum reda, publik Indonesia dikejutkan dengan kerjasama KPK dan FBI (Federal Bureau of Investigation) dalam proyek yang disebut Pemberantasan Korupsi. Kerjasama itu dilakukan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Ketua KPK, Antasari Azhar dan Deputi Direktur FBI, John Pistole di Gedung KPK di Jakarta, Selasa 18 Nopember 2008. Melalui kedok bantuan teknis, pelatihan SDM, pertukaran data dan informasi serta pelatihan intelijen, jelas AS bisa mencengkram negeri ini lebih dalam.
Barack Obama, President Elect
Sementara dalam hubungan luar negeri, terpilihnya Barack Obama seakan memberikan harapan baru dalam konstelasi politik internasional. Namun harapan sepertinya tinggal harapan. Sebagai sebuah negara yang berideologi Kapitalis, AS tidak akan banyak berubah. Obama seorang tidak bisa diharapkan bisa melakukan perubahan mendasar. Amerika Serikat tetap akan berusaha menguasai dunia dengan metode penjajahan mereka yang baku. Apalagi, AS adalah sebuah sistem dengan banyak institusi, kelompok penekan, kelompok lobi Yahudi, kelompok bisnis, kelompok media termasuk militer yang akan mempengaruhi kebijakan AS. Kebijakan AS bukanlah hanya seorang Obama.
Apalagi sejak kampanye beberapa pandangan mendasar Obama tidak jauh beda dengan presiden lainnya. Obama tetap pro Israel. Bagi Obama dan presiden AS yang lain membela Israel merupakan tugas suci yang harus dilakukan dan tidak boleh berubah. Tidaklah mengherankan kalau orang-orang disekitar Obama sangat pro Israel. Seperti penunjukan Hillary Clinton sebagai Menlu . Hillary bersikap lebih keras dan lebih pro-Israel ketimbang Obama saat kampanye. Hillary Clinton juga bersumpah akan “menghancurkan” Iran jika negara itu berani menyerang Israel.
Sebelumnya Obama menunjuk Rohm Israel Emanuel yang sebagai pendukung fanatik negara Israel menjadi kepala staf Gedung Putih. Posisi ini sangat penting karena dia akan mengatur dapurnya Gedung Putih. Surat kabar terkemuka Israel Maariv menggambarkan Emmanuel sebagai ‘orang kita di Gedung Putih’.
Karena itu sulit berharap terjadi perubahan mendasar kondisi Palestina. Negeri Islam itu akan tetap dijajah dan diperangi oleh Israel dengan dukungan penuh dari negara adi daya itu. AS juga akan tetap mempertahankan kebijakan belah bambu dan adu domba dengan mendukung Fatah, disisi lain memojokkan Hamas sebagai kelompok teroris. Sementara penguasa Arab dan negeri Islam lainnya akan tetap diam tidak melakukan pembelaan nyata terhadap Palestina.
Obama juga tetap menjalankan agenda WOT (war on terrorism) yang sarat dengan kepentingan AS. Bahkan jauh sebelum terpilih dalam kampanyenya AS telah berjanji menjadikan Afghanistan dan Pakistan sebagai sasaran perang AS yang utama. Obama memang berencana menarik pasukan AS dari Irak, namun Obama berencana mengirim pasukan yang lebih banyak lagi ke Afghanistan. Penarikan pasukan dari Irak itupun harus menunggu tahun 2011 (berdasarkan pakta keamanan AS-Irak).
Krisis Mumbai
Krisis Mumbai yang terjadi pada Rabu 26 November 2008 di India menjadi moment peneguhan perang melawan terorisme. Misteri siapa sebenarnya pelaku serangan ini belum terungkap. Tuduhan paling mudah diarahkan kepada kelompok mujahidin Khasmir. Yang jelas siapapun pelakunya, seringkali tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata muncul sebagai reaksi dari kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan negara.
Aryn Baker dalam Time (Kamis, 27 November 2008) mengingatkan hal ini. Menurutnya, krisis Mumbai tidak bisa dipisahkan dari ketidakadilan yang dirasakan Muslim minoritas India termasuk dalam masalah Khasmir. Kondisi ini, menurutnya, diperparah dengan kerusuhan di Gujarat tahun 2002 yang menewaskan lebih kurang 2.000 orang yang sebagian besarnya adalah Muslim.
Yang perlu dicermati, krisis Mumbai digunakan untuk kepentingan negara-negara besar dalam agenda perang melawan terorisme. Apalagi Obama presiden terpilih AS secara terbuka mengatakan bahwa wilayah Pakistan, Afghanistan (yang berdekatan dengan India) akan menjadi front terdepan bagi AS untuk memerangi terorisme. Krisis Mumbai dijadikan negara adidaya itu untuk mengokohkan kepemimpinannya di wilayah itu atas nama perang melawan terorisme.
Peristiwa ini juga sepertinya akan benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintah boneka AS di Pakistan dan Afghanistan untuk memperkuat posisi mereka. Peristiwa Mumbai memperkuat legitimasi memerangi pejuang Islam atas nama war on terrorism. Ke depan pemerintah India, Pakistan, dan Afghanistan akan mengokohkan strategi AS untuk membendung kelompok perlawanan Islam yang dituduh teroris.
5. LIBERALISASI AGAMA
Ahmadiyah dan Liberalisasi Agama.
Persoalan Ahmadiyah sesungguhnya sudah sangat lama. Karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan kitab Tadzkirah sebagai wahyu, serta banyak keyakinan lain yang menyimpang, kelompok ini jelas telah murtad dari Islam. Fatwa yang menyatakan kesesatan kelompok ini juga telah dikeluarkan oleh MUI dan organisasi Islam, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di negara kelahirannya sendiri, Ahmadiyah dimasukkan dalam non-Muslim.
Kendati tuntutan agar kelompok ini dibubarkan, atau dikatagorikan sebagai pemeluk agama selain Islam mengalir deras, namun pemerintah tidak bersikap tegas. Sikap pemerintah terhadap Ahamdiyah berbeda dengan sikap terhadap kelompok lain yang juga menodai Islam, seperti kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah yang meyakini pemimpinnya, Ahmad Mushaddeq sebagai nabi, atau Lia Eden dengan Jamaah Salamullah-nya yang mengaku mendapatkan wahyu dari Jibril.
Pemerintah akhirnya memang mengeluarkan SKB tiga menteri. Namun amat disayangkan, SKB itu hanya berupa peringatan. Tidak ada sanksi tegas, apalagi pembubaran terhadap kelompok sesat itu. Lebih ironis, kendati telah mendapat peringatan dan jelas-jelas tidak mengindahkan peringatan SKB tiga menteri, Ahmadiyah tetap leluasa mempraktekkan dan mengembangkan keyakinannya.
Tentu patut dipertanyakan, mengapa pemerintah – yang dikatakan Presiden SBY tidak boleh kalah oleh kelompok - tidak berdaya menghadapi Ahmadiyyah. Jika terhadap Habib Rizieq (yang sebenarnya tidak turut serta dalam insiden Monas), Munarman, dan sejumlah aktivitas FPI pemerintah bisa bersikap tegas, namun tidak demikian ketika berhadapan dengan aktivis AKKBB. Padahal, aliansi kelompok liberal inilah yang melakukan provokasi terhadap umat Islam dan paling getol membela Ahmadiyah.
Islamo-phobia
Kasus-kasus yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap Islam masih menyeruak. Kasus pelarangan pemakaian jilbab di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi adalah salah satunya. Pelarangan serupa sebelumnya juga terjadi di Rumah Sakit Kebonjati, Bandung. Pula, di Kediri ketika pemilihan anggota paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) dimana panitia seleksi Paskibraka memaksa agar peserta seleksi melepas jilbab dan mengangkat roknya untuk mengetahui bentuk kaki peserta. Kejadian itu pun mengundang kecaman dari tokoh dan ormas Islam.
Tindakan berbagai instansi –termasuk instansi pemerintah– itu tentu sangat disayangkan. Jilbab dan kerudung merupakan bagian dari kewajiban Islam terhadap pemeluknya. Padahal, di dalam konstitusi secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin warganya menjalankan kewajiban agamanya. Juga, seperti yang sering didengungkan, negara menginginkan warganya beriman dan bertakwa. Semestinya, pemerintah mendorong rakyat untuk menunaikan kewajiban agama tersebut. Bukan malah sebaliknya, melarang atau membiarkan pelarangan terhadap pelaksanaan kewajiban itu. Tak kalah anehnya, sikap kelompok-kelompok liberal yang biasanya getol menuntut kebebasan beragama, justru terhadap kasus-kasus seperti itu mereka sama sekali tidak bersuara membela kebebasan beragama seperti yang sering mereka teriakkan. Sikap itu jelas menunjukkan Islam-phobia.
Sikap Islam-phobia lebih parah adalah pada kasus penghinaan terhadap Rasulullah saw dan ajaran Islam. Sebuah website memuat beberapa komik yang berisi penghinaan terhadap Nabi saw. Namun sayangnya, pemerintah tampak mudah menyerah, lamban, dan tidak bersikap tegas. Berbeda sekali ketika menangani kasus-kasus lain yang dianggap membahayakan negara atau masyarakat. Terhadap pelaku yang menyebarkan email tentang kesulitan likuiditas Bank Century, pemerintah demikian cekatan. Hanya beberapa hari pelakunya dapat ditangkap. Demikian juga dengan beberapa pelaku SMS teror. Apakah sikap Islam-phobia juga menjangkiti penguasa di negeri ini?
Kristenisasi dan pemurtadan
Upaya kristenisasi dan pemurtadan terhadap umat Islam masih terus berjalan dengan berbagai modus operandi. Di Bekasi, kristenisasi dilakukan dengan kedok aksi sosial “Bekasi Berbagi Bahagia” oleh Yayasan Mahanaim. Beberapa orang yang hadir dibuat tidak sadar dan dibaptis, sementara anak-anak kecil diberi bingkisan mainan “barisan berbentuk salib”. Kegiatan ini dilakukan di beberapa lapangan terbuka di Bekasi. Anehnya, kegiatan tersebut justru mendapatkan izin dari Walikota Bekasi.
Sebelumnya kasus Kristenisasi juga mencuat di Pinang Ranti, Jakarta Timur. Penduduk yang sudah lama diresahkan oleh keberadaan SETIA (Sekolah Tinggi Theologi Injili Arastamar) dan aktivitas mahasisiswanya akhirnya tidak tahan. Bentrokan antara penduduk dan mahasiswa SETIA pun tak terhindarkan. Hingga kini. Belum ada penyelesaian yang tuntas terhadap kasus tersebut.
Beberapa kasus yang mencuat itu hanya sebagian kecil dari kegiatan kristenisasi yang sempat terungkap. Masih banyak kegiatan pemurtadan yang terus berjalan dengan berkedok aksi-aksi sosial, pengobatan, dan pendidikan. Juga pendirian gereja atau memfungsikan rumah tinggal sebagai rumah ibadah di tengah-tengah pemukiman mayoritas Muslim. Daerah-daerah yang miskin, ditimpa bencana, dan konflik merupakan daerah yang rawan kristenisasi. Amat disayangkan, pemerintah tidak cukup serius menangani persoalan ini. Padahal kegiatan ini tidak hanya membahayakan aqidah kaum Muslim, namun dapat menyulut konflik antaragama. Ironisnya, dalam berbagai kasus konflik tersebut umat Islam kerapkali dituding sebagai penyebabnya. Padahal, umat Islam hanya berusaha menjaga aqidah mereka. Sungguh sangat memprihatinkan.
KHATIMAH
Selain hal-hal penting di atas, sepanjang tahun 2008 negeri yang oleh para pujangga dahulu disebut zamrud khatulistiwa juga tetap diwarnai oleh banyak sekali bencana berupa gempa, kebakaran, banjir dan tanah longsong. Bencana tersebut juga menyisakan sebuah ironi. Yaitu bila diyakini bahwa segala bencana itu disamping karena faktor manusia, yang utama adalah karena qudrah (kekuatan) dan iradah (kehendak) Allah SWT dan karenanya kita sering diajak berdoa agar terhindar dari segala bencana, tapi mengapa pada saat yang sama kita tidak juga mau tunduk dan taat kepada Allah dalam kehidupan kita. Buktinya hingga kini masih sangat banyak larangan Allah (zina, riba, judi, pornografi, kedzaliman, ketidakadilan, korupsi dan sebagainya) masih juga dilanggar, dan masih sangat banyak kewajiban Allah (penerapan syariah, zakat, hukuman, shalat, haji, dan sebagainya) yang tidak dilaksanakan. Pertanyaannya, perlukah ada bencana yang lebih besar lagi untuk menyadarkan kita agar segera tunduk dan taat kepada Allah, bukan sekedar mengakui kekuasaan dan kekuatanNya dalam setiap bencana?
Berkenaan dengan kenyataan di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2008 dapat disimpulkan ada dua faktor utama di belakangnya, yakni sistem dan manusia termasuk kepemimpinan. Krisis finansial global, PHK, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas dan problema sosial lain, intervensi asing, Islamo-phobia dan berbagai bentuk kedzaliman sepenuhnya terjadi karena pilihan manusia dalam menata berbagai aspek kehidupan. Pemimpin yang tidak amanah dan sistem yang buruk, yakni sistem Kapitalisme dan Sekularisme ditambah lemahnya moralitas individu telah terbukti menjadi pangkal munculnya persoalan di atas. Karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.
2. Di sinilah sesungguhnya esensi dari seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah. Karena hanya dengan sistem berdasarkan syariah yang dipimpin oleh orang amanah saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Dengan sistem ini pula terdapat nilai transedental dalam setiap aktifitas sehari-hari yang akan membentengi setiap orang agar bekerja ikhlas, tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan maupun asing. Memiliki paradigma yang jelas bahwa memimpin adalah amanah dari Allah dan syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan, mengentaskan kemiskinan, menolak intervensi, menghapus pornografi dan pornoaksi, serta mewujudkan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.
3. Karena itu, diserukan kepada seluruh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki kekuatan dan pengaruh seperti pejabat pemerintah, para perwira militer dan kepolisian, pimpinan orpol dan ormas, anggota parlemen, para jurnalis dan tokoh umat untuk berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya syariah di negeri ini. Hanya dengan syariah saja kita yakin bisa menyongsong tahun mendatang dengan lebih baik. Lain tidak.
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net
Gedung Anakida Lantai 7
Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254
Email : info@hizbut-tahrir.or.id Website: www.hizbut-tahrir.or.id
Senin, Desember 15, 2008
Refleksi Akhir Tahun 2008 Hizbut Tahrir Indonesia Selamatkan Indonesia dengan Syariah Menuju Indonesia Lebih Baik
Jurnalis Iraq Lempari Bush dengan Sepatu, Berani Ketimbang Para Penguasa Boneka Arab - Video
Seorang jurnalis Iraq melemparkan sepatu ke muka George W. Bush usai mengucapkan syukran katsiro, saat jumpa Pers bersama kawannya, Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki di Irak, Ahad, (14/12/08). Karena lemparan pertama mampu dihindari Bush, Presiden Amerika tersebut pun menerima dua kali lemparan sepatu. Benar-benar berani, jurnalis Irak tersebut, dibandingkan dengan para penguasa Arab yang lebih memilih bermanis muka dan berjabat tangan dengan pembunuh lebih dari sejuta Muslim di Irak dan Afghanistan tersebut.
Berlaga pahlawan, Bush menganggap kehadirannya di Irak untuk kemandirian Irak. “Tidak, saya mempertimbangkan itu sebagai satu langkah penting menuju Irak yang mendukung dirinya sendiri, memerintah dirinya sendiri dan mempertahankan dirinya sendiri,” kata Bush.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa perang belum usai. “Ada beberapa tugas yang harus dilakukan. Perang belum usai,” imbuh Bush.
Tak kuasa menunjukkan kemarahannya atas penjelasan Bush tentang kebijakan Perang Irak, seorang jurnalis Irak pun berteriak dalam bahasa arab sambil melempar sepatu.
“Ini ciuman perpisahan dari warga Irak, anjing,” teriak jurnalis itu sambil melempar sepatu.
Benar-benar berani, jurnalis tersebut dibandingkan dengan para penguasa Arab yang lebih memilih berjabat tangan dengan pimpinan penjajah yang telah membunuh lebih dari sejuta kaum Muslim di Irak dan Afghanistan tersebut. Keberanian seorang jurnalis untuk menyatakan kemarahannya atas apa yang telah Bush lakukan di negeri Timur Tengah tersebut. Sangat jauh dengan sikap para penguasa boneka, yang malah menyambut Bush dengan suka cita.
Melempar sepatu merupakan bentuk kemarahan paling tinggi orang-orang di Timur Tengah. Jurnalis yang mengacaukan acara jumpa pers itu pun digelandang paksa oleh Paspamres Irak dan AS sambil memberontak dan berteriak-teriak.
Kebijakan Bush di negeri yang pernah menjadi pusat Khilafah Islamiyyah tersebut telah membuat negeri Irak porak poranda, dan dikendalikan oleh Barat melalui kaki tangannya. Derita demi derita dihadapi oleh kaum Muslim di negeri tersebut. Sementara itu, para penguasa Muslim dunia malah berdiam diri atas tindakan jahat Bush tersebut, kalah oleh keberanian seorang jurnalis yang tak kuasa menahan kemarahan atas semua tindakan Bush tersebut. (Syabab.com, 15/12/08)
Sabtu, Desember 13, 2008
Ikutilah Pawai Akbar Muharam 1430 H
AYO PEDULI & BERGERAK !!!
WAHAI SELURUH RAKYAT INDONESIA
1. Krisis keuangan di AS saat ini sudah sangat parah. Tidak ada yang selamat. Sistem Kapitalisme tengah sekarat.
2. Krisis telah menjalar ke seluruh dunia. Semuanya berteriak dan menjerit.
3. Banyak negara sudah masuk dalam kubangan krisis, seperti Inggris dan Singapura. Hal yang sama pun akan menimpa Indonesia.
4. Krisis juga sudah menjalar ke sektor riil. Dampaknya sudah mulai kita rasakan secara nyata.
5. Krisis ekonomi tahun 1998 lalu sangat mungkin akan terulang kembali pada tahun 2009. Gejalanya sudah nampak: - Akhir tahun 2008 diprediksi akan banyak perusahaan yang bangkrut, - Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terus melorot - PHK tak bisa dihindari.
Pada bulan November 2008, PHK sudah mencapai 26.488 orang dan 4.022 orang dirumahkan.
Bulan Desember 2008 ada 23.284 orang akan di PHK dan 18.891 orang akan dirumahkan.
KADIN (Kamar dagang dan industri) memperkirakan sekitar 200 ribu pekerja akan terkena PHK dalam jangka waktu enam bulan mendatang.
Asosiasi Industri Malaysia tidak lagi memperpanjang kontrak puluhan ribu tenaga asing (termasuk Indonesia) yang dipekerjakan di sana.
Diperkirakan jumlah PENGANGGURAN pada tahun 2009 akan meningkat mencapai 3,5 juta orang.
Dapat dibayangkan dampak ikutannya, angka KEMISKINAN meningkat drastis.
Seperti yang disampaikan WHO, gangguan KESEHATAN MENTAL dan BUNUH DIRI pun meningkat.
SUNGGUH SANGAT MENGERIKAN
Semua itu terjadi karena SISTEM KAPITALISME
Sistem inilah yang telah menciptakan kegoncangan dan derita seluruh umat manusia
WAHAI KAUM MUSLIMIN
KAPITALISME TENGAH SEKARAT, KINI SAATNYA KITA HIJRAH DARI SISTEM KAPITALIS MENUJU SISTEM ISLAM
Sistem Islamlah yang difardhukan oleh Allah semesta alam, yang Maha Tahu apa yang baik untuk seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman:
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. Al Maaidah: 50)
IKUTILAH
PAWAI AKBAR MUHARAM: HIJRAH DARI SISTEM KAPITALISME MENUJU SISTEM ISLAM
4 Januari 2008
Jam 08.00 – 11.00
Long March dari Monas menuju Bundaran HI
Aksi ini akan dilaksanakan serentak di kota-kota besar seluruh Indonesia
Kamis, Oktober 30, 2008
Sistem Islam Memelihara Kaum Minoritas dan Perempuan
HTI-Press. Saat ini, demokrasi dianggap sebagai sistem politik terbaik. Salah satu harapan masyarakat terhadap negara demokratis adalah mampu menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi semua orang, termasuk kaum perempuan, anak-anak dan kaum minoritas. Faktanya, sejak berdirinya negara ini hingga sekarang, demokrasi yang diterapkan dan diperjuangkan gagal membawa kesejahteraan dan keamanan bagi kaum perempuan dan kaum minoritas.
Bahkan dunia barat, Amerika dan negara-negara Eropa, yang merupakan pelopor demokrasi, kenyataannya tak pernah menepati apa yang selalu mereka propagandakan tentang demokrasi. Sekarang kita lihat fakta kejahatan demokrasi, yang tak bisa dipungkiri, terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan.
Catatan Buruk
A. Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas
Amerika, kampium demokrasi, masih mediskriminasikan korban badai Katrina 2005 lalu, yang notabene warga kulit hitam (Al-Wa’ie, Maret 2006). Sementara Prancis telah melarang minoritas muslimah untuk mengenakan hijab, yang merupakan identitas muslimah, masjid-masjid dimonitor, jaringan telepon disadap dan selebaran yang disebarkan umat muslim diawasi (K-Mag, No. 7, April 2006).
Di Thailand, para demonstran minoritas muslim yang memprotes penahanan enam warga yang dituduh menjual senjata kepada pejuang Muslim di Thailand Selatan, dibubarkan dengan cara ditembaki senjata api, gas air mata, dan meriam air. Para demonstran pun dimasukkan ke dalam enam buah truk dengan cara ditumpuk seperti menumpuk barang dagangan. Akibatnya 78 orang tewas sebelum mereka sampai di tempat tujuan. Mereka meninggal karena kesulitan bernapas atau tertindih sampai mati (Swaramuslim, 2004)
Perlakuan Australia terhadap minoritas muslim di negaranya pun setali tiga uang. Louise Pemble, wartawati The Sunday Times, menulis headline berjudul ”How it feels to be an Ooutsider”. Tulisan tersebut merupakan pengalamannya selama menyamar menjadi muslimah dengan mengenakan hijab dan cadar. Dalam headline tersebut ia menceritakan beberapa celetukan yang ia peroleh dari orang-orang tua (elderly people) antara lain ‘’stupid woman” dan puncaknya ketika dia mendapat cemohan ”move away from the bomber.” Saat mengunjungi tempat-tempat umum di Australia, Louise Pemble juga merasakan reaksi masyarakat terlihat berlebihan dalam melihatnya, memandangnya, dan mengamatinya. Seolah-olah, ketika wanita itu lewat, daerah tersebut menjadi ’siaga I’ (Swaramuslim, 2005).
Kenyataan di atas sangat kontras dengan apa yang disebut sebagai instrumen internasional yang menjamin kaum minoritas. Salah satu instrumen itu adalah Deklarasi Hak Orang-Orang yang termasuk Bangsa atau Sukubangsa, Agama, dan Bahasa Minoritas yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 47/135 PBB tahun 1992. Misalnya pada pasal 2 butir 1 menyatakan, “Orang-orang yang termasuk bangsa atau sukubangsa, agama, dan bahasa minoritas (selanjutnya disebut sebagai orang-orang yang termasuk kaum minoritas) mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan mereka, untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri, dalam lingkungan sendiri dan umum dengan bebas dan tanpa gangguan atau tanpa segala bentuk diskriminasi”.
B. Nestapa Perempuan
Jika dikatakan demokrasi telah berhasil membawa sejumlah kemajuan bagi perempuan, itu adalah kemajuan semu. Semu, karena di satu sisi mengalami “kemajuan” sementara di sisi lain mengalami kemerosotan. Sebagai contoh Swedia memiliki tingkat keterwakilan politik perempuan paling tinggi, yakni mencapai 40 persen. Hal ini dianggap suatu kemajuan, padahal di sisi lain angka perceraian dan orang tua tunggal di negara tersebut mencapai lebih dari 50 % (Husain Matla, 2007).
Tahun ini, Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan, akibat naikknya harga BBM jumlah warga miskin Indonesia bertambah dari 37,2 juta menjadi 41,7 juta orang (21,92 persen). Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri.
Dalam laporan tahunan Unicef berjudul Laporan Situasi Anak Dunia 2007, tercatat kehidupan jutaan anak perempuan dan perempuan dewasa dibayangi oleh diskriminasi, ketidakberdayaan dan kemiskinan. Jutaan perempuan di seluruh dunia menjadi sasaran kekerasan fisik dan seksual, dan sedikit peluangnya untuk mendapatkan keadilan.
Sebagai akibat diskriminasi, anak perempuan berpeluang lebih kecil untuk bersekolah, bisa dikatakan satu dari lima anak perempuan yang bersekolah di sekolah dasar di negara berkembang tidak menyelesaikan pendidikannya. Tingkat pendidikan diantara kaum perempuan, menurut laporan ini, berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup dan perkembangan anak yang lebih baik.
Laporan Unicef tersebut mungkin hanya menggambarkan kondisi perempuan di negara berkembang, sekarang kita lihat nasib perempuan di dunia barat. Barat yang selalu menjadi acuan Indonesia berdemokrasi ternyata “mengoleksi” catatan buruk nasib perempuan dan anak-anak.
Sebuah survey yang dilakukan di sembilan negara bagian AS, yang dilakukan selama 5 tahun, menyatakan bahwa 60% pengacara perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Pelecehan tersebut dilakukan, sepertiganya oleh kolega, 40% oleh klien, dan 6% oleh hakim. Penelitian yang dilakukan University of Medical Researchers tahun 1998, diketahui bahwa diantara prajurit perempuan pasukan AS dalam perang Vietnam atau perang Teluk, 63% mengalami pelecehan fisik dan seksual selama menjalani tugas kemiliterannya, dan 43% dilaporkan mengalami pemerkosaan atau usaha pemerkosaan.
BBC melaporkan, hampir 25% perempuan di Inggris pernah mengalami kekerasan domestik dalam kehidupannya. Setiap 60 detik, kepolisisn Inggris mendapat panggilan menangani kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menerima 1300 telepon pengaduan masalah ini setiap harinya. KDRT di Inggris pun telah memakan 2 korban tewas setiap minggunya!
Pemerkosaan terjadi setiap menit di AS dan di Inggris sepertiga perempuan pernah menjadi korban pelecehan seksual pada usia 18 tahun. Jumlah pemerkosaan pun dilaporkan meningkat 500% antara 1996-1997 (Nawaz,2006)).
Fakta yang mengerikan! Apakah hal seperti ini yang ingin ditiru dan dicapai oleh kaum perempuan di Indonesia? Tampaknya berbagai permasalahan perempuan dan anak-anak semakin mengukuhkan kegagalan demokrasi dalam menjamin keadilan, keamanan dan kesejahteraan. Masihkan kita berharap terhadap demokrasi? Sistem yang telah berabad-abad didengungkan memberi sejuta harapan perbaikan, tapi sampai saat ini perbaikan yang diinginkan tak pernah tercapai!
Perempuan dan Minoritas dalam Islam
Bukti demokrasi gagal memelihara perempuan dan kaum minoritas adalah fakta tak terbantahkan. Tentu kondisi menyedihkan dan mengerikan ini harus diubah. Diubah dari sistem demokrasi yang gagal, ke sistem yang secara historis terbukti mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan, termasuk memelihara kaum perempuan dan minoritas. Sistem tersebut adalah sistem pemerintahan Islam.
Jaminan keamanan dan kesejahteraan yang diberikan negara Islam terhadap manusia termasuk kepada kaum minoritas-non muslim diakui oleh Will Durant. Dalam bukunya The Story of Civilization, dia menyatakan pujiannya tentang para pemimpin negara Islam (khalifah) “Para khalifah telah memberikan keamanan pada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannyadan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka”.
Meski demikian, upaya formalisasi syariat Islam selalu dibenturkan pada dua isu utama, perempuan dan kaum minoritas. Penerapan sistem Islam dalam negara dianggap sebagai ancaman bagi kaum perempuan dan kaum minoritas. Moeslim Abdurrahman, aktivis JIL, bahkan mengatakan bahwa korban pertama penerapan syariat Islam adalah kaum perempuan dan korban kedua adalah kaum minoritas.
Benarkah ketika syariat Islam diterapkan kaum perempuan akan “dibelenggu”? Benarkah formalisasi syariat Islam membuat kaum perempuan menjadi warga yang termarjinalkan dan diperlakukan tidak adil? Benarkah pula akan terjadi penindasan dan pemaksaaan pindah agama bagi kaum minoritas non muslim?
Terjaminnya Kaum Minoritas
A. Masa Nabi Muhammad SAW
Pada saat Rasulullah saw. membangun negara Islam (Daulah Islam) di Madinah, keadaan masyarakatnya tidaklah seragam. Madinah saat itu dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Meskipun struktur masyarakatanya beragam, namun semua masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum-hukum Islam.
Kelompok-kelompok selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam, atau diusir dari Madinah. Bahkan mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Hal ini sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Quran, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (TQS. Al Baqarah [2]:256).
Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi, diskriminasi dan gangguan. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Jaminan Negara Islam terhadap non muslim tersebut terlihat jelas dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah saw. Dalam bagian tengah Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut, “Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah, akan memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad), dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan.Tidak dibenar-benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali telah disepakati dan diterima bersama”.
Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak mu’amalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah saw (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya.
Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di jazirah Arab, Nabi saw memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Aylah, Azrah, Jarba’, dan Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Nabi saw. juga memberikan perlindungan , baik harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Beliau juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja’, Najran, Muzainah, Aslam, Juza’ah, Jidzaam, Qadla’ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri’asy, dan masih banyak lagi.
Begitulah, non muslim yang tinggal di dalam Daulah Islam atau disebut kafir dzimmiy tidak dipaksa meninggalkan agama mereka, akan tetapi mereka diwajibkan membayar jizyah saja. Mereka tidak dipungut biaya-biaya lain, kecuali jika hal itu merupakan syarat yang disebut dalam perjanjian. Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman,”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.”(HR. Ibnu ‘Ubaid)
Cuplikan fakta sejarah perlakuan Daulah Islamiyyah terhadap kaum minoritas (non muslim) tersebut cukup menjadi bukti bahwa penerapan Islam dalam negara bukanlah ancaman bagi kaum non muslim. Islam bahkan telah mengakui dan mengakomodasi pluralitas pada saat bangsa Romawi maupun Yunani tidak mengakuinya.
Pengakuan terhadap pluralitas inipun telah diterangkan oleh al-Quran di dalam ayat-ayatnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah.“[al-Hujurat:13].
Kemudian pada ayat, “Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar. Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan”. (al-Hajj:67-68)
B. Masa Kekhalifahan Islam
Jaminan keamanan, keselamatan dan “kebebasan” dalam beribadah sesuai keyakinan yang diberikan kapada kaum minoritas yang dilakukan semasa Rasulullah saw, tetap dilaksaanakan sepeninggal Beliau saw. Para khalifah sebagai penerus pemimpin Daulah Islamiyyah tidak pernah meninggalkan apa yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Dalam memperlakukan kaum non muslim. Bahkan hingga kekhalifahan terakhirpun, perlakuan tersebut tidak berubah. Padahal saat itu wilayah negara Islam telah mencapai 2/3 dunia, dimana perbedaan agama, keyakinan, ras, suku bangsa dan budaya adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.
Daulah Islam telah memberikan keamanan, keselamatan dan kesejateraan kepada penduduknya baik muslim maupun non muslim. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad saw melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berfikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.” Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Apa yang dilakukan Umar bin Khaththab jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin Khaththab hancur berkeping-keping.
Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini sebagai berikut ini, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194)”.
Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam. Sayangnya, peradaban yang inklusive dan agung ini berakhir di bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak mereka diusir dari Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi. Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia (Syamsudin Ramadhan, 2008).
Perlakuan kekhilafahan terakhir, kekhilafahan Utsmaniyah, terhadap kaum non muslim dilukiskan sejarahwan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam bukunya Preaching of Islam. Dia menyatakan ”Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang meareka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Arnold juga menjelaskan, “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta Negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua Negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintahan Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam Islam…kaum Cossak yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh gereja kuno dan gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Demikianlah sebagian catatan sejarah bagaimana Daulah Islamiyyah memperlakukan warganya yang non muslim. Tuduhan bahwa formalisasi Islam dalam negara akan menjadi “tungku peleburan” agama, sehingga semua orang dipaksa masuk Islam adalah sebuah asumsi tanpa dasar dan tidak sesuai fakta. Islam juga tidak akan melakukan diskriminasi, intimidasi dan pemaksaan kepada non muslim.
Sebagai warga negara, kaum minoritas mendapatkan jaminan keamanan, keadilan hukum dan kesejahteraan yang sama dengan warga yang muslim. Mereka dibiarkan memeluk agama dan keyakinannya masing-masing. Islam juga memberikan kebebasan dan perlindungan terhadap ritual-ritual kegamaan yang mereka lakukan.
Islam Memuliakan Perempuan
A. Kedudukan Perempuan dalam Islam
Sebelum Islam datang, bangsa Arab memperlakukan perempuan sebagai manusia yang bernilai rendah. Kaum perempuan saat itu dianggap sebagai harta benda yang bisa diwarisi. Jika seorang suami meninggal maka walinya berhak terhadap istrinya. Wali tersebut berhak menikahi si istri tanpa mahar, atau menikahkannya dengan lelaki lain dan maharnya diambil oleh si wali, atau bahkan menghalang-halanginya untuk menikah lagi.
Bayi perempuan dianggap sebagai aib, sehingga orang Arab Jahiliyyah mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir. Namun Rasulullah saw. datang membawa risalah Islam untuk melenyapkan semua bentuk kezaliman tersebut dan mengembalikan hak-hak kaum perempuan.
Tindakan yang memeras dan mengebiri hak-hak kaum perempuan, semua dihapus. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS. an-Nisa’ ayat 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Barangsiapa yang memiliki anak perempuan, dan ia tidak menguburnya hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak cenderung kepada nank laki-lakinya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”
Islam juga menetapkan bagaimana seorang suami harus memperlakukan istrinya, Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai manusia, memang benar kalian memiliki hak atas istri kalian, tapi mereka juga punya hak atas kalian. Ingatlah, bahwa kalian telah mengambil mereka sebagai istri atas kepercayaan dan izin Allah. Jika mereka taat, maka mereka berhak diberi nafkah dan pakaian serta kebaikan. Baik-baiklah kepada mereka, karena mereka adalah pasangan dan penolong kalian.”
Penghargaan tinggi atas tugas-tugas perempuan sebagai ibu dan kepala rumah tangga juga diberikan Islam. Nabi saw. bersabda:
“Pada masa kehamilan hingga persalinan, dan hingga berakhirnya maasa menyusui, seorang perempuan mendapatkan pahala yang setara dengan pahalanya orang yang menjaga perbatasan Islam.” (HR. Thabrani)
Nabi saw. juga pernah bersabda:
“Ketika seorang perempuan menyusui anaknya, untuk setiap tegukan itu ia akan mendapatkan pahala seolah-olah ia baru dilahirkan sebagai seorang manusia, dan ketika ia menyapih anaknya, para malaikat menepuk punggungnya sambil berkata, ‘Selamat! Semua dosa-dosamu yang telah lalu telah diampuni, kini semuanya berjalan dari awal lagi’.” (Raiyadhu as-Salihin)
B. Masalah Kemiskinan, Keamanan, Pendidikan dan Kesehatan
Dalam Daulah Islamiyyah, negara menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat secara keseluruhan. Negara juga memberikan jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
Kebutuhan pokok, antara lain pangan, sandang dan papan (rumah), pendidikan dan kesehatan semuanya dijamin negara. Rasullah saw. bersabda:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kebutuhan Pangan, Sandang, dan Papan
Negara memerintahkan kepada setiap kepala keluarga bekerja mencari nafkah. (Lihat: QS al-Mulk: [67] 15; QS al-Jumu‘ah [62]: 10). Hal ini karena kepala keluarga wajib mencari nafkah untuk keluarganya. Kaum perempuan tidak wajib mencari nafkah. Semua kebutuhan anak-anak termasuk anak perempuan ditanggung oleh ayah atau walinya. Sedangkan kebutuhan istri ditanggung oleh suaminya. Begitupula seorang anak laki-laki harus menanggung kebutuhan ibunya jika ayahnya telah meninggal atau sudah tidak mampu bekerja.
Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Sehingga angka pengangguran dapat dientaskan, karena hal ini merupakan salah satu kewajiban negara Khilafah.
Jika kepala keluarga ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka negara akan memerintahkan setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu.
Negara juga akan mewajibkan tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan, dan dengan segera negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan. Orang yang tidak mampu lagi bekerja dan tidak mempunyai sanak saudara yang menanggungnya, maka kebutuhannya akan ditanggung negara melalui Baitul Mal (Kas Negara).
Jika ternyata kas negara tengah kosong atau dilanda krisis sehingga tidak mampu memnuhinya, maka kewajiban tersebut beralih kepada seluruh kaum Muslimin. Kaum Muslim dapat dikenai pajak (dharîbah). Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang kaya dan tidak boleh diambil dari orang non-Muslim meskipun ia kaya.
Rasulullah saw. pernah mengambil sebagian harta milik orang-orang kaya Bani Nadhir dan membagi-bagikannya kepada sahabat Muhajirin yang fakir. Itu dilaksanakan oleh beliau sebagai realisasi pengamalan perintah Allah Swt.
Pada masa kekhalifahan, Umar bin al-Khaththab pernah membangun suatu rumah yang diberi nama “Dâr ad-Daqîq” (Rumah Tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang ditujukan untuk membantu para musafir memenuhi kebutuhannya. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicapai oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.
Diceritakan oleh Imam Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharâj, bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab r.a., pernah melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, “Apakah ada yang bisa saya bantu?” Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. “Usiaku sudah lanjut,” katanya. Amirul Mukminin berkata, “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya perlakuan kami. Karena kami mengambil sesuatu darimu di saat mudamu dan kami biarkan kamu di saat tuamu.”
Setelah kejadian itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.
Demikianlah, peran besar negara untuk menciptakan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan warga negaranya, baik perempuan, laki-laki, maupun non-muslim. Tentunya dengan cara ini masalah kemiskinan rakyat di Daulah Islamiyyah akan teratasi. Cara yang agung dan mulia ini, juga akan mencegah setiap individu masyarakat—yang sedang dililit kesulitan hidup—memenuhi kebutuhan mereka dengan cara menghinakan diri (meminta-minta).
Masalah Keamanan, Pendidikan, dan Kesehatan
Pemenuhan kebutuhan pokok berupa keamanan, pendidikan, dan kesehatan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri‘âyah asy-syu’ûn) dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara (Khilafah Islamiyah) berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat. Seluruh biaya yang diperlukan ditanggung oleh Baitul Mal.
Keamanan dan kepastian hukum setiap anggota masyarakat dijamin dengan jalan menerapkan hudûd (qishâsh, potong tangan bagi pencuri, diyat [denda], dsb). yang tegas kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta orang lain. Dengan jujur, Noah Feldman, seorang professor hukum dari Havard University, mengakui perlindungan negara Khilafah kepada penduduknya termasuk kaum perempuan. Dia mengatakan, “Ketika Inggris menerapkan hukum mereka pada umat Muslim sebagai ganti syariah, sebagaimana yang telah mereka lakukan di beberapa koloni, hasilnya adalah peniadaan hak milik kaum perempuan yang selalu dijamin oleh hukum Islam-kemajuan yang sulit ditandingi dalam kesetaraan gender.”
Profesor Feldman melanjutkan, “Syariah juga melarang penyuapan atau dukungan khusus dalam pengadilan. Ia menuntut perlakuan sama antara si kaya dan miskin. Ia mengutuk pembunuhan-pembunuhan vigilante-style honour yang masih terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Ia juga melindungi, hak milik semua orang-termasuk perempuan.” (Kantor Berita Common Ground, 2008)
Dalam hal kesehatan, negara Khilafah juga memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya termasuk kaum perempuan. Diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menghadiahkan dokternya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw., dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan seluruh rakyat, yang bertugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa hadiah semacam itu bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kaum Muslim atau untuk negara.
Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal. Pernah serombongan orang berjumlah 8 orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama Zhi Jadr. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali.
Dalam bidang pendidikan, Daulah Islamiyyah juga memberikan jaminan bagi seluruh warga untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW pernah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar, bahwa para tawanan itu bisa bebas dengan mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis.
Dengan tindakan itu, yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis, berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan setara dengan barang tebusan. Artinya, Rasul memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.
Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, menjelaskan bahwa negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara serta diambil dari kas Baitul Mal.
Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah, Khalifah Umar Ibnu Al Khathab memberi gaji sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).
Al-Badri juga menceritakan bahwa Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam, memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar ibadah dan mu’amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Ia menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:
“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”
Pada masa kekhilafahan Turki Ustmani, dibangun sekolah-sekolah yang untuk laki-laki dan perempuan. Dalam satu daerah kekuasaannya, negara membangun sebuah perguruan tinggi, dua buah sekolah untuk pelajar laki-laki, sebuah sekolah untuk pelajar perempuan dan sebuah sekolah untuk anak-anak. Di semua sekolah tersebut, 450 orang pelajar lelaki dan 300 orang pelajar perempuan mendapat pendidikan yang sama. (Antalya Golden Orange Art & Cultural Foundation, 1997).
Kebijakan yang menjamin terlaksananya pendidikan ini diperuntukan bagi semua warga Negara Khilafah, baik laki-laki, perempuan maupun non muslim. Perempuan dan laki-laki muslim mempunyai kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu. Permasalahan rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan saat ini tentu tidak akan ditemui di masa kekhilafahan.
Sekarang pertanyaanya adalah apakah kita mau hidup dalam naungan khilafah dengan segala kemuliaannya terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan? Atau memilih hidup dalam alam demokrasi dengan segala permasalahannya? Wallahu ‘alam bi ash showab. (*)
Saatnya Sistem Ekonomi Islam Menggantikan Sistem Ekonomi Kapitalis
[AL-ISLAM Edisi 427] Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10).
Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.
Penyebab Utama Krisis
Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000).
Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Agustianto, 2007).
Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun.
Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Ekonomi Kapitalisme: Biang Krisis
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti—atau terikat dengan—sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan), melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul, telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara.
Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN malah sering mengalami surplus.
Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor riil, terutama perdagangan.
Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil.
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat.
1. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara. Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah.
2. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.
Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang yang penuh spekulasi (untung-untungan).
3. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah Islamiyah), masyarakat bisa memperoleh pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.
4. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.
Yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO, tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.
Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-islam;
Presiden SBY: Untuk menstabilkan nilai rupiah tidak bisa hanya dengan intervensi ke pasar uang (Republika Online, 28/10/2008).
Indonesia, juga dunia, memang harus beralih ke mata uang berbasis emas dan perak yang terbukti selalu stabil.
Soal Jawab Seputar Keruntuhan Kredit Global dan Akibatnya
Adnan Khan, Koresponden Ekonomi Khilafah.Com
1. Apa makna istilah dari ‘keruntuhan kredit’ yang disebut sebagai krisis keuangan? Apa akibat dari krisis ini terhadap ekonomi?
Krisis kredit adalah istilah untuk menjelaskan krisis yang menyebabkan para bank berhenti untuk saling meminjamkan uang kepada sesamanya yang menyebabkan kebekuan di pasar keuangan yang berakibat pada jatuhnya perusahaan keuangan seperti Northern Rock, contohnya. Banyak lagi implikasi lain yang berdampak kepada beberapa aspek ekonomi baik secara langsung atau tidak langsung:
• Baik AS dan Inggris telah menikmati pertumbuhaan yang didasarkan kepada hutang selama satu dekade terakhir, namun kini harus berhenti secara mendadak.
• Di Inggris, nilai ekonomi berkisar pada 1,3 trilyun ponsterling sedangkan hutang konsumen sekitar 1,4 trilyun.
• Kemudahan mendapatkan hutang (kredit) menyebabkan terjadinya gelembung (bubble), namun gelembung itu nampaknya sudah kehilangan udara dengan cara meletus.
2. Apa penyebab utama terjadinya krisis keuangan?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis dan beberapa faktor berperan lebih penting dibanding lainnya.
• Peminjaman uang oleh Bank kepada calon pembeli rumah yang beresiko, yaitu mereka yang memiliki kemungkinan melunasi hutang kecil, dengan pemberian pinjaman dengan bunga kecil (sub-prime loans)
• Bank tersebut lalu menkonversi hutang peminjam menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan seperti CDO, MBS, dll, dimana hutang bisa menjadi produk yang bisa diperjualbelikan.
3. Apakah isu utamanya adalah pemilik rumah di AS yang miskin sehingga tidak mampu membayar hutangnya atau ada alasan lain yang lebih mendasar seperti cara kerja sistem keuangan jaman sekarang?
• Sektor keuangan dari ekonomi adalah sektor terbesar dari perekonomian Barat yang mengakibatkan besarnya kelonggaran peraturan yang diberikan pemerintah sehingga mendorong praktik keuangan seperti hedge funds, potongan pajak dan penyelamatan dari kebangkrutan.
• Kemampuan dari Bank dan pemerintahan Barat untuk terus mencetak uang sehingga menciptakan gelembung ekonomi. Contohnya, AS hanya memiliki 1,4 trilyun dolar uang yang beredar tetapi Bank telah menciptakan ekstra 11 trilyun dolar melalui cadangan perbankan.
• Filsafat Kapitalisme untuk terus menumbuhkan ekonomi pada kenyataannya tidak bisa bertahan dan menyebabkan keambrukan secara berkala, resesi dan krisis ketika kerakusan semakin tinggi.
• Kapitalisme percaya bahwa apabila manusia mengejar kepentingan/nafsu masing-masing maka kebaikan akan datang kepada mereka. Nafsu adalah suatu yang baik dan penting demi berjalannya Kapitalisme, maka peminjaman uang yang agresif, suku bunga yang tinggi, dan penilaian tentang potensi kredit seseorang semuanya menunjukkan kepentingan nafsu/keserakahan.
4. Bagaimana tanggapan pemerintah untuk menyelesaikan krisis, apakah sudah cukup dan apakah sudah menunjukkan hasil?
• Bank Sentral di semua negara telah menggelontorkan uang ke pasar untuk memperlancarkan dana yang macet.
• Pemerintah Inggris telah menasionalisasi Northern Rock yang hampir tumbang
• Pemerintah AS mengatur penjualan Bear Stearns, Bank Investasi terbesar ke-5 di AS ketika ia hampir tumbang
• AS merencanakan untuk memberikan potongan pajak di bulan September dengan harapan bahwa masyarakat AS akan menghindarkan dirinya dari krisis dengan meningkatkan jumlah belanja mereka.
• Pemerintah Inggris beregosiasi dengan sektor perbankan sebesar 50 milyar ponsterling guna menjamin hutang mereka dengan uang rakyat dan menggunakannya sebagai agunan.
Tindakan pemerintah telah menghindari keambrukan total sebagaimana yang hampir terjadi pada Northern Rock. Namun dengan adanya hutang yang selama ini mendorong pertumbuhan ekonomi di barat dalam dasawarsa terakhir, tindakan-tindakan pemerintah tersebut akan bisa mengakibatkan resesi.
5. Bukankah tindakan penyelamatan pasar oleh Pemerintah justru menentang prinsip dasar pemikiran Kapitalis yang tidak mempercayai adanya intervensi pemerintah dan justru akan memperburuk krisis yang disebut dengan ‘Moral Hazard’?
Konsep Pasar Bebas kembali dipertanyakan. Banyak kalangan percaya bahwa pemerintah seharusnya ikut campur tangan ketika pasar gagal. Para Bank juga tidak akan membuat produk berbahaya jika saja mereka mengetahui konsekuensi dari ulah mereka.
6. Banyak kalangan menyarankan peraturan yang lebih banyak dan transparansi, apakah ini akan membantu?
Saran seperti ini selalu dilontarkan pada setiap krisis yang telah terjadi. Peraturan tentang simpan pinjam akibat ambruknya pasar saham di tahun 1930an telah melahirkan berbagai perangkat peraturan baru. Namun tidak akan ada peraturan yang akan bisa mengatur inti kepercayaan yang diemban oleh Kapitalisme, yaitu Nafsu/Kerakusan.
7. Pelajaran apa yang bisa diambil dari krisis ini dan apa sebenarnya kelemahan mendasar dari pasar keuangan Barat?
Pasar keuangan lebih didominasi adalah ekonomi paralel (non riil) dibanding dengan ekonomi riil , di mana pelakunya melakukan judi untuk memprediksi apa yang akan terjadi di dunia. Mereka pertaruhkan bagaimana perusahaan tertentu akan berjaya dan mana yang akan membuat untung. Inilah problema mendasar dari pasar uang, mereka tidak memproduksi apapun yang bersifat riil.
8. Majalah “The Economist” adalah pembela pasar keuangan Barat yang loyal, meskipun ia menyadari kelemahan sistem ini, ia tetap menyatakan bahwa ‘gelembung ekonomi, pertumbuhan, dan keambrukan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keuangan Barat, dan tetap masih lebih baik.” Benarkah?
Tidak, dan pernyataan semacam ini justru menghindari diskusi tentang pasar bebas. Pasar uang berperan kecil dalam pertumbuhan ekonomi di Inggris, AS, Jerman, Jepang, dan Perancis. Pasar semacam ini tidak mutlak diperlukan bagi perkembangan suatu bangsa dan bukan bagian dari kehidupan modern. Ia hanya bagian dari sistem Kapitalisme. Komunisme dan Islam dalam sejarahnya tidak pernah menderita krisis semacam ini (apalagi kalau terjadi dengan kekambuhan yang berkala).
9. Alternatif seperti apa yang Islam bisa tawarkan, karena sistem keuangan Islam tidak memperbolehkan sistem bunga?
• Sistem Islam berdasarkan pada ekonomi riil, bukan ekonomi paralel (non riil)
• Prinsip penanaman modal dalam Islam adalah pada komoditas dan jasa yang riil dan bukan karena nilai bisnisnya
• Pembiayaan bisa dicari dari lembaga keuangan yang mengumpulkan deposit dari nasabah, menanamkan modal deposit tersebut, dan ikut menanggung kerugian dalam investasi yang mengundang resiko.
10. Bagaimana perusahaan Islam mencari dana atau permodalan untuk memulai usaha sehingga bisa berkembang?
Melalui hibah dari negara dan pinjaman melalui lembaga keuangan Syariah. Perkembangan ekonomi Inggris dan AS sebenarnya terjadi dari intervensi pemerintah pada sektor ekonomi yang utama, dengan cara penetapan pajak bea masuk yang tinggi, memberikan pinjaman mudah dan hibah, serta hak monopoli , sehingga pertumbuhan ekonomi bagaimanapun tetap didorong dari pusat (pemerintah). (Sumber: Khilafah.Com)
Kedudukan Fatwa dalam Syariat Islam
Definisi Fatwa
Imam Ibnu Mandzur di dalam Lisaan al-Arab menyatakan, ”Aftaahu fi al-amr abaanahu lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya adalah menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa aftaa al-rajulu fi al-mas`alah (seorang laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah). wa astaftaituhu fiihaa fa aftaaniy iftaa`an wa futaa (aku meminta fatwa kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia memberikan kepadaku sebuah fatwa)”.[Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 15, hal. 145]
Sedangkan perkataan ”wa fataay” adalah asal dari kata futya atau fatway. Futya dan fatwa adalah dua isim (kata benda) yang digunakan dengan makna al-iftaa’. Oleh karena itu, dinyatakan ”aftaitu fulaanan ru’yan ra`aaha idza ’abartuhaa lahu (aku memfatwakan kepada si fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskannya kepada dirinya). Wa aftaituhu fi mas`alatihi idza ajabtuhu ’anhaa (aku berfatwa mengenai masalahnya jika aku telah menjelaskan jawaban atas masalah itu). [Ibid, juz 15, hal. 145]
Pengarang Aun al-Ma’bud menyatakan, ”Sesungguhnya, makna dari ”kata al-futya wa futway” adalah apa-apa yang difatwakan oleh seorang faqih atau muftiy”. Dinyatakan : aftaahu fi al-mas`alah: ay ajaabahu (saya menyampaikan fatwa kepadanya dalam suatu masalah: maksudnya saya menjawabnya)…”[’Aun al-Ma’buud, juz 1, hal. 245]
Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika dinyatakan ”aftay fi al-mas`alah : menerangkan hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan al-iftaa` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (ibaanat al-ahkaam fi al-mas`alah al-syar’iyyah, au qanuuniyyah, au ghairihaa mimmaa yata’allaqu bisu`aal al-saail). Al-Muftiy adalah orang yang menyampaikan penjelasan hukum atau menyampaikan fatwa di tengah-tengah masyarakat. Mufti adalah seorang faqih yang diangkat oleh negara untuk menjawab persoalan-persoalan…Sedangkan menurut pengertian syariat, tidak ada perselisihan pendapat mengenai makna syariat dari kata al-fatwa dan al-iftaa’ berdasarkan makna bahasanya. Oleh karena itu, fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Jika mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan berijtihad, niscaya pekerjaan akan terlantar, dan roda kehidupan akan terhenti…”[Mafaahim al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 240]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kaedah Menggali Hukum Atau Fatwa
Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, maka, kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad). Pasalnya, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, seorang muftiy tak ubahnya dengan seorang mujtahid.
Makna Ijtihad
Menurut Imam al-Amidiy, secara literal kata “ijtihad” bermakna ,”Istafraagh al-wus’iy fi tahqiiq amr min al-umuur mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam mentahqiq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan)[1].
Imam Syaukaniy berpendapat, bahwa kata “ijtihad” diambil dari kata al-juhd yang bermakna al-musyaqqah wa al-thaqah (kesukaran dan kemampuan). Ijtihad digunakan secara khusus untuk menggambarkan sesuatu yang membawa konsekuensi kesulitan dan kesukaran (kemampuan paling optimal). Sedangkan suatu usaha yang tidak sampai pada taraf “kesukaran dan kesulitan” (musyaqqah) tidak dinamakan dengan ijtihad. Dalam kitab al-Mahshuul disebutkan, secara literal ijtihad bermakna “istafraagh al-wus’iy fi ayy fi’li” (mencurahkan segenap kemampuan pada setiap perbuatan). Untuk itu, kata istafraagh al-wus’iy hanya digunakan pada seseorang yang membawa beban yang sangat berat, tidak bagi orang yang membawa beban yang ringan.[2]
Di kalangan ‘ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan “istafraagh al-wus’iy fi thalab al-dzann bi syai’i min ahkaam al-syar’iyyah ‘ala wajh min al-nafs al-‘ajziy ‘an al-maziid fiih”; yakni mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil dzanniy, hingga batas dirinya merasa tidak mampu melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkannya.”[3]
Berdasarkan definisi di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syara’ dari dalil-dalil yang bersifat dzanniy dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan, hingga dirinya tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu.
Dengan demikian, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga syarat berikut ini.
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat dzanniy. Menurut al-Amidiy, hukum-hukum yang sudah qath’iy tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Sebab hukum yang terkandung di dalam nash-nash yang qath’iy (dilalahnya) sudah sangat jelas, dan tidak membutuhkan interpretasi lain. Sebab, tidak ada pertentangan atau multi interpretasi pada nash-nash yang qath’iy. Oleh karena itu, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath’iy, akan tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat dzanniy. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara ‘aqidah, maupun hukum-hukum syara’ yang dilalahnya qath’iy; misalnya wajibnya potong tangan bagi pencuri, had bagi pezina, bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syara’, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma’qulaat), maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsuusaat). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesa tidak disebut dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan, hingga taraf ia tidak mungkin melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukannya. Seseorang tidak disebut sedang melakukan ijtihad, jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal, ia masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan.[4]
Syarat-syarat Mujtahid (Muftiy)
Seseorang layak melakukan ijtihad bila telah memenuhi syarat-syarat berikut ini.
Pertama, memahami dalil-dalil sam’iyyah yang digunakan untuk membangun kaedah-kaedah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam’iyyah adalah al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, Sunnah, dan Ijma’, klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta mentarjih dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil sam’iyyah dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.[5]
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu lafadz (makna yang ditunjukkan lafadz) yang sejalan dengan lisannya orang Arab dan para ahli balaghah. Syarat kedua ini mengharuskan seseorang yang hendak berijtihad memiliki kemampuan dalam memahami seluk beluk bahasa Arab, atau kemampuan untuk memahami arah makna yang ditunjukkan oleh suatu lafadz. Oleh karena itu, seorang mujtahid atau mufti harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu lafadz, makna balaghahnya, dalalahnya, serta pertentangan makna yang dikandung suatu lafadz serta mana makna yang lebih kuat –setelah dikomparasikan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti dan menghafal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan.[6]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, penetapan fatwa harus didasarkan pada prinsip-prinsip ijtihad, yakni ”fahm al-nash” (memahami nash) dan fahm al-waaqi’ al-haaditsah” (memahami realitas yang terjadi). Fahmu al-nash adalah upaya memahami dalil-dalil syariat hingga diketahui dilalah al-hukm (penunjukkan hukum) yang terkandung di dalam dalil tersebut. Sedangkan fahmu al-waaqi’ al-haaditsah adalah upaya mengkaji dan meneliti realitas yang hendak dihukumi agar substansi persoalannya bisa diketahui, serta hukum syariat yang paling sesuai dengan realitas tersebut.
Realitas bukanlah dalil hukum (sumber hukum), akan tetapi ia adalah obyek yang dihukumi. Oleh karena itu, fatwa tidak digali atau dirujuk dari realitas, akan tetapi diambil dan dirujuk dari dalil-dalil syariat (al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas).
Ragam Mujtahid
Mujtahid terbagi menjadi tiga; (1) mujtahid muthlaq, (2) mujtahid madzhab, (3) mujtahid fi al-mas`alah.
Mujtahid muthlaq adalah mujtahid yang mampu berijtihad dalam hampir seluruh persoalan, dan ia memiliki metode ijitihad yang khas. Dengan kata lain, mujtahid muthlaq adalah seseorang yang telah mencapai taraf tertinggi dalam memahami nash-nash syariat, sekaligus mampu memformulasikan metodologi istinbath yang khas. Ulama yang telah mencapai taraf ini misalnya adalah Imam Asy Syafi’iy, Imam Malik, Imam Hanafiy, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Asy Syaukaniy, dan lain sebagainya.
Mujtahid madzhab adalah seorang mujtahid yang mampu melakukan ijtihad dalam berbagai macam persoalan, hanya saja, ia terikat dengan madzhab tertentu. Imam An Nawawiy, misalnya; beliau terkenal sebagai mujtahid yang beraliran madzhab Syafi’iy. Mohammad dan Abu Yusuf adalah dua orang mujtahid pengikut madzhab Abu Hanifah; dan lain sebagainya.
Mujtahid fi al-mas`alah adalah seseorang yang mampu melakukan ijtihad pada masalah-masalah tertentu saja.
Ijtihad untuk menggali hukum syariat dari nash-nash syariat harus tetap ada hingga akhir jaman, tidak boleh mandeg dan terhenti. Pasalnya, persoalan-persoalan baru yang belum pernah ada di masa sebelumnya terus bermunculan, dan harus dihukumi sesuai dengan syariat Islam. Jika ijtihad terhenti atau dihentikan, niscaya banyak persoalan baru yang tidak diketahui status hukum syariatnya. Keadaan semacam ini, jika dibiarkan berlarut-larut, pelan namun pasti akan menjauhkan umat Islam dari hukum syariat, sekaligus memisahkan mereka dari ketaatan kepada Allah swt dan RasulNya.
Benar, pintu ijtihad tidak boleh ditutup, bahkan harus dibuka selebar-lebarnya bagi orang-orang yang memang memiliki kemampuan untuk itu. Ijtihad tertutup, bahkan tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad. Ijtihad juga tertutup bagi orang-orang yang sengaja ingin memutarbalikkan dan menghancurkan ajaran Islam. Ijtihad juga tidak layak dilakukan oleh orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada orang-orang kafir yang terus memusuhi Islam dan kaum Muslim, semacam kelompok Islam Liberal, dan kroni-kroninya.
Imam Syaukaniy dalam Kitab Fath al-Qadiir, ketika menjelaskan syarat-syarat seorang mufti beliau menyatakan, ”Mufti haruslah orang-orang yang shaleh, dan selalu menyelaraskan dengan pendapat-pendapat yang terpilih, dan tidak boleh mengamalkan fatwa dari mufti-mufti fasiq yang tidak boleh mengeluarkan fatwa. Sebab, fatwa termasuk urusan agama, sedangkan pendapat orang fasiq dalam urusan agama tidak boleh diterima (ghairu al-maqbuul). Ketentuan ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pengkhianatan orang fasiq terhadap agama telah tampak dengan jelas. Sesungguhnya, inayah Allah swt dalam persoalan-persoalan syariat hanya akan tercapai dengan mentaati Allah swt, dan berpegang teguh kepada tali ketakwaan. Telah disebutkan di dalam al-Quran al-Kariim, ”Wattaquu al-Allah wa yu’allimukum al-Allah”[Bertaqwalah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan mengajari kalian”.[TQS Al-Baqarah (2): 282] [Durrur al-Hukkaam fi Syarh Majallat al-Ahkaam, juz 13, hal. 162]. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwaam al-Thariiq. (Syamsuddin Ramadhan, Lajnah Tsaqafiyyah HTI).
________________________________________
[1] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal. 309; Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
[2] Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
[3] ibid, hal. 309. Lihat juga, Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.197
[4] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal.309
[5] Imam al-Amidiy, menyatakan, “Syarat-syarat seorang Mujtahid dalam berijtihad ada dua; (1) ia harus mengetahui Wujud Allah SWT, Shifat-shifat WajibNya, serta KesempurnaanNya; dan ia juga mengetahui bahwa Allah swt adalah Wajib al-Wujud (Wajib Ada) karena DzatNya, Hidup, Mengetahui, Memiliki Kemampuan, Berkehendak, Berkata-kata, hingga tergambar dariNya masalah taklif. Ia harus menyakini Rasulullah, dan semua syariat manqul yang diturunkan kepadanya, mukjizat yang dimilikinya, tanda-tanda kenabian yang menakjubkan, agar semua pendapat dan hukum yang disandarkan kepada beliau saw benar-benar haq. Namun demikian, seorang mujtahid tidak disyaratkan menguasai ilmu kalam secara rinci dan mendalam, seperti halnya ulama-ulama ahli kalam yang masyhur. Akan tetapi, ia cukup mengetahui perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah keimanan seperti yang telah kami sampaikan di atas. Seorang mujtahid juga tidak disyaratkan mengetahui dalil-dalil syariat secara terperinci hingga taraf bisa menetapkan dan memilah-milahkan dalil, dan melenyapkan kesamaran dari dalil-dalil tersebut, sebagaimana ahli Ushul. Namun, ia hanya cukup mengetahui dalil-dalil yang berhubungan perkara-perkara tersebut secara global, dan tidak harus rinci. (2) Seorang Mujtahid harus mengetahui dan memahami sumber-sumber hukum syariat beserta bagian-bagiannya; metodologi penetapannya, arah dilalah atas madlul-madlulnya, perbedaan martabatnya, syarat-syaratnya. Ia juga harus mengetahui arah tarjihnya jika terjadi pertentangan diantara dalil-dalil tersebut, dan bagaimana cara menggali hukum dari dalil tersebut. Ia juga mampu melakukan tarjih dan penetapan dalil; serta mampu menguraikan (memisahkan) pertentangannya. Hal ini akan tercapai jika ia mengetahui dan memahami perawi-perawi hadits, serta cara melakukan jarh wa ta’diil, mana yang shahih dan mana yang tidak; seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in. Ia juga harus memahami asbab nuzul (latar belakang turunnya ayat), nasikh dan mansukh yang terdapat di dalam nash-nash syariat. Ia juga harus mengetahui bahasa Arab dan ilmu nahwu. Hanya saja, tidak disyaratkan ia harus memiliki kemampuan dalam hal bahasa seperti halnya al-Asmu’iy, atau mahir dalam masalah nahwu, seperti Imam Sibawaih dan Khalil. Akan tetapi, ia cukup memahami konteks-konteks bahasa Arab, serta percakapan-percakapan yang biasa terjadi diantara mereka hingga taraf bisa membedakan dalalah al-lafadz yang terdiri dari dalalah al-muthabiqah, al-tadlmiin, dan iltizam. Ia juga harus mengetahui mufrad dan murkab, makna kulliy dan juz’iy , haqiqah dan majaz, makna tunggal (al-tawathiy) dan makna pecah (al-muystarak), taraduf dan tabaayun, nash dan dzahir, umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, dalalah iqtidla’ dan isyarah, tanbih wa al-ima’, dan lain-lain.
[6] Qadliy al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.213-216. Bandingkan juga dengan Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkam, juz II, hal. 309-311